Senja Harom
-(Jumat, 6 Juni 2025)-
Hari itu, saya meminta giliran untuk mengambil jatah makanan pagi dan siang untuk kelompok kami. Karena kami telah merencanakan untuk berangkat ke Masjidil Haram setelah salat Dzuhur dan berada di sana hingga selesai salat Isya. Artinya, untuk jatah makan malam, gantian salah satu dari rekan kami yang akan mengambilnya.
Sekitar pukul satu siang lewat, kami pun berangkat menuju Masjidil Haram. Biasanya ketika naik bus, kami menyapa dan mengkonfirmasi kepada sopir mengenai tujuan bus: “Harom?”
Itu adalah sebutan pendek untuk Masjidil Haram.
Sesampainya di sana, kami berniat untuk beriktikaf sambil menanti waktu salat Ashar. Dalam masa menunggu tersebut, alhamdulillah saya bisa menyelesaikan satu juz Al-Qur’an. Suasana yang sakral di dalam Masjidil Haram sangat mendukung untuk tenggelam dalam bacaan ayat-ayat suci dan dzikir.
Selesai salat Ashar, kami sepakat keluar sejenak untuk ke toilet—sebuah kebutuhan yang cukup lama tertahan. Saat itulah, kami menyadari ada bagian dari bangunan lama Masjidil Haram serta pintu yang dapat digunakan untuk keluar. Temuan ini menjadi pengalaman baru, membuka pemahaman kami akan kompleksitas dan keluasan ruangan-ruangan di dalam masjid suci ini.
Masih ada waktu cukup panjang sebelum masuk waktu Maghrib. Kami pun memanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan ke pusat perbelanjaan yang terletak tak jauh dari masjid. Di sana, kami akan berdiskusi sekalian mencoba makan cemilan kuliner modern Arab. Ternyata, bukan hanya kami yang berpikir demikian. Banyak jamaah lain yang juga mengisi waktu menjelang salat dengan makan atau berbelanja di tempat itu.
Namun, yang paling berkesan adalah atmosfer spiritual yang tetap terjaga. Jika di tempat lain mall adalah tujuan utama dan mushola menjadi persinggahan singkat untuk menggugurkan kewajiban, di sini keadaannya terbalik. Semua orang datang ke mall hanya untuk menunggu waktu salat, bukan sebaliknya. Di Masjidil Haram, urusan dunia menjadi selingan, bukan pusat perhatian. Paradigma kehidupan berubah total: jika biasanya kita terbenam dalam rutinitas dunia dan berhenti sejenak untuk salat, maka di tanah suci ini kita tenggelam dalam ibadah dan hanya berhenti sejenak untuk dunia.
Mendekati waktu Maghrib, kami kembali masuk ke dalam masjid, kali ini memilih lokasi di bagian rooftop. Senja di atas Masjidil Haram adalah pemandangan yang sungguh syahdu. Langit bersih tanpa awan, semburat jingga menyala di atas menara dan gedung-gedung tinggi. Ketika salat Maghrib, suara merdu sang imam menyentuh hati. Suasana ini begitu dalam, hingga saya mencatatnya diam-diam dalam hati: kelak saya akan merindukan momen ini.
Seusai salat Maghrib, kami kembali keluar untuk urusan toilet, lalu naik lagi ke rooftop namun pada sisi berbeda untuk salat Isya. Dan lagi-lagi, saat imam melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang begitu menyentuh, saya kembali berkata dalam hati: ini adalah momen yang akan saya rindukan selamanya.
Usai salat Isya, kami tidak langsung pulang ke hotel. Kami memilih menunggu sejenak di dalam masjid, berharap kerumunan jamaah sedikit berkurang. Namun, tampaknya jumlah jamaah tidak kunjung menyusut. Setelah berhasil mengisi botol-botol kami dengan air zamzam, barulah kami keluar dari masjid.
Perjalanan dari masjid ke terminal bus memakan jarak sekitar satu kilometer. Kami sempat mampir lagi ke toilet untuk keperluan yang perlu diselesaikan, lalu menaiki bus yang akan membawa kami kembali ke hotel. Biasanya, kami turun di titik depan hotel. Namun entah kenapa, kali ini saya spontan mengajak turun lebih awal, di satu sudut jalan yang mengharuskan kami berjalan melewati taman dan menyeberang jalan tepat di depan hotel.
Dan di taman itulah, tak disangka, kami bertemu teman-teman kami yang sedang duduk bercengkerama. Kami segera menghampiri mereka dan menanyakan soal jatah makan malam kami. Ternyata, makanan kami masih mereka simpan di kamar mereka. Mereka lalu menunjukkan letak kunci kamar dan mempersilakan kami mengambil makanan sendiri. Jika tadi kami tidak memutuskan turun di sudut jalan itu, dan tidak melewati bagian tengah taman, kemungkinan besar kami tidak akan bertemu mereka. Dan jika kami langsung ke kamar dan mengetuk pintunya, tentu tak ada yang membukakan. Bisa jadi, kami harus menunggu mereka kembali, padahal ada batas waktu yang tertera di kemasan makanan tersebut.
Begitulah. Suatu hari yang menyisakan pertanyaan. Mengapa saya tiba-tiba mengajak turun di sudut jalan yang tak biasa kami turun? Apakah itu sekadar kebetulan? Atau sebuah petunjuk?
Sering kali dalam hidup, kita dihadapkan pada keputusan-keputusan kecil yang tampak sepele, namun ternyata berdampak besar. Barangkali, inilah cara Tuhan mengatur hidup kita. Petunjuk-Nya bisa datang dalam bentuk intuisi sederhana, dorongan batin yang tidak rasional, atau bahkan perubahan rencana yang tidak disengaja.
Di tempat di mana dunia menjadi selingan dan ibadah menjadi pusat kehidupan, kami belajar bahwa hidup bukan hanya tentang rencana kita, tetapi juga tentang bagaimana kita peka terhadap petunjuk-Nya yang tersembunyi di balik hal-hal sederhana.
Hari itu adalah tentang satu hari biasa yang menjadi luar biasa karena penuh makna. Tentang satu senja yang akan dirindukan. Dan tentang satu langkah kecil yang telah diarahkan oleh Tuhan.