Madrasah kepemimpinan

-(Selasa, 10 Juni 2025)-

Pelaksanaan haji reguler, menurut saya, merupakan sarana yang sangat bagus untuk membentuk dan menggembleng para pemimpin. Baik pemimpin yang duduk dalam jabatan politik, maupun mereka yang berada dalam lingkungan pemerintahan atau birokrasi. Tentu yang dimaksud di sini adalah haji reguler, bukan haji plus apalagi haji furoda.

Mengapa haji reguler? Karena dalam pelaksanaannya, banyak hal yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi proses pendidikan mental, sosial, dan spiritual yang sangat relevan bagi siapa pun yang sedang atau akan memegang peran kepemimpinan.


Pertama: Dibentuk Kelompok dan Regu

Dalam haji reguler, para jamaah akan dibentuk menjadi kelompok atau regu. Proses ini mendorong setiap orang untuk bekerja sama, saling membantu, dan peduli pada rekan-rekannya. Nilai kebersamaan dan solidaritas muncul dari interaksi harian di antara sesama jamaah, yang tentu sangat penting bagi seorang pemimpin dalam menjalankan fungsi sosialnya.


Kedua: Kejutan Pertama di Asrama Haji

Kejutan pertama yang akan dihadapi jamaah terjadi saat tinggal sementara di asrama haji. Dalam satu kamar bisa terdapat 10 orang jamaah dengan hanya 2 kamar mandi. Mereka harus bergantian dan antri. Saat makan pun dilakukan bersama-sama. Di sini, seseorang dilatih untuk berbagi ruang, waktu, dan kesabaran, termasuk menerima perbedaan karakter orang lain dalam satu kamar.


Ketiga: Penerbangan dan Kesetaraan

Saat naik pesawat, jamaah juga tidak bisa memilih siapa yang duduk di sampingnya. Artinya, mereka harus siap menerima kondisi apapun dari jamaah yang duduk di sebelahnya. Ini belum termasuk antri ketika ke toilet pesawat. Penerbangan yang lama dengan jumlah toilet terbatas akan berimplikasi pada antrian toilet.

Pada saat itu, jabatan tak lagi berlaku. Siapa yang duluan, itu yang dapat giliran masuk ke toilet. Ini juga akan kembali dihadapi para jamaah saat berada di Padang Arafah, Muzdalifah, dan Mina, yang pada waktu tersebut, sekali lagi, jabatan tidak lagi menjamin previleg antrian lebih dulu. Artinya, meski punya jabatan tinggi, pada saat itu tak lagi dipandang jabatan itu. Ini bisa memberikan pengajaran bahwa semua orang sama. Jangan karena jabatan kemudian menilai diri terlalu tinggi.


Keempat: Hidup Sekamar Selama 40 Hari

Ketika berada di Mekkah dan Madinah, jamaah akan tinggal di satu kamar hotel dengan 3–5 orang lainnya, tergantung besarnya kamar. Artinya, dalam waktu sekitar 40 hari, jamaah akan tidur bersama, bertemu, berbicara, dan beraktivitas dengan beberapa orang yang mungkin sebelumnya belum dikenal secara mendalam.

Setiap orang tentu memiliki karakter dan kebiasaan yang berbeda yang kadang membuat jengkel orang lain—seperti tidur ngorok atau mandi terlalu lama. Jika orang itu adalah seorang pemimpin, maka ia otomatis akan belajar bagaimana bisa membawa diri dan beradaptasi dengan kawan-kawan barunya, termasuk bagaimana ia mengelola emosi dan perasaan.

Selain tinggal bersama, ada juga pembagian tugas untuk mengambil jatah makanan. Apapun jabatannya, tentu ketika mendapat giliran mengambil jatah makanan, ia mesti menaati jadwal tersebut dan sekaligus bertugas membagi makanan itu. Artinya, ia mesti melayani orang lain. Bagi seorang pemimpin, ini menjadi pelajaran penting.


Kelima: Ujian Kesabaran di Arafah dan Mina

Ketika berada di tenda Arafah dan atau Mina, adakalanya jamaah mendapatkan tempat yang berdekatan dengan jalan lalu lalang orang. Ketika ia akan keluar, artinya kasur dan mungkin barang-barang kita akan diinjak, dilangkahi, tersenggol, dan sebagainya. Pada saat itu, yang dituntut adalah kesabaran dan keikhlasan menghadapi situasi tersebut.


Keenam: Kesadaran Akan Kesetaraan di Tengah Lautan Manusia

Pada saat haji, kita akan bertemu dengan jutaan manusia dari berbagai belahan dunia, semuanya berkumpul untuk melaksanakan keinginan yang sama. Potensi ketegangan antarjamaah pada saat tawaf, sa’i, lempar jumrah, dan juga salat, menjadi hal yang mesti dihadapi.

Melihat jumlah jamaah yang begitu banyaknya bisa menyadarkan kita betapa sesungguhnya sebagai satu individu, kita tidaklah berarti. Maka, ketika seseorang menganggap dirinya terlalu tinggi atau terlalu penting, justru akan menimbulkan rasa stres. Karena di sana semua orang punya hak yang sama.

Begitulah hal-hal yang dihadapi seorang jamaah. Dan ketika jamaah itu adalah seorang pemimpin, niscaya ia akan belajar bagaimana mengelola dirinya dan lingkungannya.

Namun demikian, tantangan nyata saat ini adalah: waktu tunggu bagi pendaftar haji reguler yang bisa mencapai puluhan tahun. Maka jika memang ada gagasan untuk memberi kesempatan kepada para pemimpin atau calon pemimpin untuk mengikuti haji reguler sebagai bagian dari pembentukan karakter, perlu sebuah kebijakan khusus yang adil dan transparan.

Kebijakan itu jangan sampai mengambil hak jamaah lain yang begitu antusias dan telah lama menanti datang ke Tanah Suci. Bisa saja dirancang sistem seleksi terbuka untuk kalangan terbatas—dengan kriteria yang ketat dan tanpa memberikan kesan keistimewaan yang melukai keadilan publik.

Bagaimanapun haji reguler adalah madrasah mental dan spiritual yang luar biasa. Ia mengajarkan pemimpin untuk turun ke bumi, menyadari bahwa kemuliaan bukan terletak pada gelar atau jabatan, tapi pada kerendahan hati, kesabaran, kesetaraan, dan kemampuan melayani.

Jika setiap pemimpin pernah mengalami semua ini secara langsung, mungkin wajah kepemimpinan akan berubah: lebih manusiawi, lebih membumi, dan lebih layak diteladani.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi