Ibadah fisik
-(Sabtu, 7 Juni 2025)-
Kenyataannya, ibadah haji adalah ibadah yang sangat mengandalkan kekuatan fisik. Jamaah dituntut untuk memiliki kaki yang kuat dan stamina yang terlatih. Tanpa persiapan fisik yang memadai, perjalanan spiritual ini bisa menjadi beban yang berat, baik secara jasmani maupun rohani.
Setibanya di Mina, salah satu rangkaian utama adalah melontar jumrah aqabah. Dari tenda kami, total jarak perjalanan pulang-pergi mencapai sekitar 10 - 11 kilometer. Dengan jalan kaki. Dan itu bukan hanya sekali. Perjalanan itu akan diulang kembali selama dua hingga tiga hari tasyrik untuk melontar tiga jumrah lainnya: ula, wustha, dan aqabah.
Sebelum itu, jamaah juga telah menjalani rangkaian umrah wajib, yang terdiri dari tawaf dan sa’i. Aktivitas ini dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dan kemudian berjalan cepat bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Jarak total yang ditempuh bisa mencapai 7 hingga 8 kilometer, tergantung rute dan kepadatan jamaah.
Setelah lempar jumrah, jamaah masih memiliki agenda penting: melaksanakan tawaf ifadah dan sa’i haji. Terakhir, seluruh rangkaian haji ditutup dengan tawaf wada’ sebagai bentuk perpisahan dari Baitullah. Semua ini belum memperhitungkan jarak-jarak tambahan yang harus ditempuh jamaah, misalnya dari terminal ke Masjidil Haram, dari Muzdalifah ke Mina ketika terjadi kemacetan. Hampir seluruhnya harus ditempuh dengan berjalan kaki dalam kepadatan yang luar biasa, yang kadang di bawah terik matahari dan suhu yang ekstrem.
Dengan demikian, kekuatan kaki dan daya tahan tubuh bukan sekadar pelengkap, tapi benar-benar kunci penting. Persiapan fisik seperti latihan jalan kaki, jogging, gowes atau bahkan olahraga ringan sudah sepatutnya dilakukan jauh hari sebelum keberangkatan.
Memang tersedia beberapa fasilitas seperti kursi roda, mobil golf, atau bisa nitip teman untuk melontar jumrah. Namun, fasilitas-fasilitas ini terbatas, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah jamaah, dan tentu saja memerlukan biaya tambahan. Maka, mengandalkan bantuan semata tanpa kesiapan diri sendiri bukanlah pilihan bijak.
Karena itu, jika saya boleh berkata jujur, ibadah haji ini memang paling ideal dilakukan oleh mereka yang masih muda atau mereka yang meski sudah berusia namun telah melatih diri secara fisik, terutama dalam hal jalan kaki.
Atau jika anda punya rejeki yang banyak, barangkali bisa memilih fasilitas haji plus atau jenis haji berbayar lebih mahal lainnya. Yang tentunya memiliki fasilitas yang lebih nyaman dibandingkan reguler. Hanya saja, anda tetap juga jalan kaki. Tidak kemudian diganti sepatu roda. Meski mungkin jaraknya tidak sejauh yang haji reguler.
Barangkali inilah salah satu hikmah tersembunyi dari ibadah haji: ia mendorong umat Islam untuk hidup sehat, menjaga kebugaran, dan membangun gaya hidup aktif. Seolah-olah agama ini, secara tersirat maupun tersurat, mengajarkan dan bahkan mewajibkan umatnya untuk menjaga kesehatan tubuh. Bukan sekadar untuk kuat menjalani ibadah, tapi juga sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat tubuh yang diberikan oleh Allah.
Begitulah. Setiap langkah kaki menuju jamarat, setiap putaran tawaf, setiap bolak-balik antara Shafa dan Marwah, mencerminkan usaha dan keikhlasan seorang hamba dalam meraih ridha-Nya. Dalam peluh dan lelah itu, terkandung pelajaran tentang kesabaran, ketekunan, dan pentingnya kesiapan diri, bukan hanya untuk akhirat, tetapi juga untuk menjalani kehidupan dunia dengan seimbang dan sehat.
Agama ini tidak hanya memerintahkan kita untuk taat secara spiritual, tapi juga mendorong kita untuk tangguh secara fisik. Sebab iman dan amal tidak bisa dipisahkan dari tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat.