Karet Trump

-(Sabtu, 19 April 2025)-

Nyaris setiap hari saya melihat pohon karet. Pagi kemarin saya sempat memfoto kebun karet. Saat jalan pagi. Yang kemudian saya upload di aplikasi rekam jejak olah raga itu. 

Soal karet ini, dalam beberapa tahun terakhir nyaris tak terdengar berita tentang fluktuasi harga karet. Tak seperti harga cabe. Atau bawang putih. Artinya, tak ada gejolak yang dirasakan para petani karet. 

Saya juga belum pernah mendengar atau membaca rilis BPS tentang harga karet. Maksudnya harga karet tak pernah mempengaruhi inflasi daerah. Atau memang karet tak masuk dalam komoditas yang dipantau. Karena mungkin, orang tak secara langsung membutuhkan getah karet. Berbeda misalnya dengan beras atau telor. Yang terus dipantau harganya.

Kenyataannya, hari ini saya bercakap-cakap dengan Bapak ini. Pada satu kesempatan ketika menunggu acara dimulai. Dia punya kebun karet. Tak mau mengaku berapa hektar. Nampaknya ia rendah hati. 

Saya bertanya. Lalu mendengarkan. Dengan sungguh. Saya selalu ingat salah satu ajaran 7 kebiasaan yang efektif itu. Soal mendengarkan. Pun naluri wartawan amatir itu timbul. Saya ingin tahu tentang karet. Tentu, saya tak ingin ia merasa diwawancarai atau bahkan merasa diinterogasi. Biarlah ia bercerita tentang apa saja yang ia kerjakan. 

Katanya: sekarang harga karet turun 5 ribuan. Dari biasanya 15 ribu per kilogram jadi 10 ribu. Gara-gara Trump. Katanya. 

Saya bertanya: setiap hari satu pohon karet bisa menghasilkan getah berapa kilogram. Ia menjelaskan: untuk pohon yang bagus, bisa sampai 1/4 kilo. Tapi itu tidak setiap hari. Ia bagi 2 areal. Misalnya setiap areal 500 pohon. Hari ini menderes areal pertama, besoknya ganti areal kedua. Katanya, memberi kesempatan pada pohon untuk juga istirahat.

Ia tak menderes sendiri pohon karetnya. Ia memperkerjakan orang lain dengan sistem bagi hasil. 2 banding 1. Dua bagian untuk dia, 1 bagian untuk yang yang bekerja itu. Tapi, pola ini kadang membuat pohon karet menjadi kurang sehat. Karena orang yang bekerja padanya menderes karet dengan cara yang seolah memaksa karet agar banyak mengeluarkan getah. Barangkali ia berpikir agar lebih banyak yang ia dapatkan dari bagi hasil itu. 

Saya bertanya: berapa lama setelah ditanam, pohon karet bisa menghasilkan getah karet. Katanya: setelah tujuh tahun sudah bisa dideres. Dan itu bisa bertahan puluhan tahun, tergantung perawatan. 

Saya tunjukan pohon karet yang saya foto. Ia langsung bisa menganalisis. Karet itu tidak sehat. Dari warna kulit pohon itu. Ia juga bilang, cara menderesnya kurang baik. 

Tema percakapan kami lalu melebar ke banyak hal. Mulai soal bagaimana agar uang bisa bekerja menghasilkan uang, sampai hal-hal lain tentang rencana masa depan untuk anak cucunya. Ia sudah merancang dan mulai menanam pohon kelapa. Termasuk kelapa kopyor. Ia membayangkan, kelak ketika pohon kelapa itu sudah berbuah, ia akan senang bisa dinikmati anak cucunya.

Begitulah. Nampaknya tidak hanya kelapa, ada banyak rencana yang sudah ia siapkan untuk generasi penerusnya. 

Bagaimana dengan anda?

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi