Percakapan lebaran

-(Selasa, 1 April 2025)-

Silaturahmi. Berkunjung atau dikunjungi. Untuk saling memaafkan. Atas salah dan khilaf. Mencicipi hidangan yang telah tersaji. Diselingi percakapan dan gelak tawa. Kadang rasa haru. Pun air mata menetes saat mengingat anggota keluarga yang telah tiada. 

Itu semua adalah suasana lebaran yang kemarin dan hari ini terjadi. Di kampung saya, hal itu masih akan berlanjut sampai lebaran ketupat. 

Di tengah kebahagiaan idulfitri, ada hal yang dikhawatirkan dan dianggap toxic bagi sebagian orang. Yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menurut mereka menyakitkan. Seperti: sekarang kerja apa, apakah sudah menikah, apa sudah punya momongan, dst. 

Katanya: itu dianggap pertanyaan basa basi, yang ditujukan hanya untuk membandingkan pencapaian. Padahal, setiap orang punya perjuangannya sendiri. Yang tidak semestinya dibanding-bandingkan. Karena akan menyakitkan. Menurut mereka. 

Sebagai orang yang telah melalui puluhan kali lebaran, saya bisa membandingkan antara dulu dan sekarang. Dahulu, pertanyaan-pertanyaan itu merupakan hal yang wajar dan sepertinya tak membuat orang tersakiti. Sekarang nampaknya sudah terjadi pergeseran nilai. Sebagaimana hal diatas. 

Bagi orang yang belum paham, jika pertanyaan itu menyakiti, tentu akan santai saja saat bertanya. Sementara bagi yang sudah paham bahwa itu tak semestinya ditanyakan, kadang akan bingung sendiri. Pertanyaan apa lagi selain itu? Untuk membuka percakapan. 

Maka, diantara pertanyaan dan hal yang saya jadikan bahan percakapan adalah tentang kondisi pertanian di daerah kami. Saya berusaha cek tentang harga gabah, kondisi pupuk subsidi dan serba serbi pertanian lainnya. 

Beberapa orang yang notabene petani, mengkonfirmasi. Yang intinya bahwa harga gabah minimal 6.500/kg, yang ditetapkan pemerintah, sudah lumayan memberikan keuntungan. Dan membuat mereka senang. 

Pun dengan ketersediaan pupuk subsidi. Petani tak lagi kesulitan untuk mendapatkannya. Begitu konfirmasi yang saya tangkap dari hasil percakapan dengan beberapa orang saat silaturahmi lebaran. 

Meski demikian, ada pula hal lain yang membuat saya prihatin. Era post truth benar-benar nyata. Dari hasil percakapan, saya menyimpulkan: ada kabar hoax dan juga opini, yang diyakini sebagai fakta. Yang membuat mereka tak percaya pada pihak-pihak tertentu.

Begitulah. Mengetahui hal itu, saya tak bisa berbuat banyak. Selain saya tak punya otoritas atas info itu, saya tahu penjelasan apapun tak akan diterima. Kenapa? 

"Post-truth adalah kondisi di mana emosi dan kepercayaan pribadi lebih mempengaruhi opini publik daripada fakta objektif" - ChatGPT.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi