Perekat bangsa

-(Minggu, 13 April 2025)-

Dua hari ini -dalam beberapa jam, saya berada di lingkungan baru. Untuk memperoleh pengetahuan baru. Masalahnya, bahasa yang digunakan adalah campuran. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Yang tentu dengan dialek dan logat setempat. Termasuk kata-kata tambahan yang khas. 

Pasti, ada sebagian kata-kata yang saya tidak mengerti. Yang ketika mereka tertawa, saya hanya diam. Ada lelucon yang disampaikan, yang saya tak paham. 

Tapi otak manusia punya kemampuan beradaptasi dan belajar. Beberapa kata, saya cari artinya di gugel. Selain itu, ketika saya tahu konteksnya, lama-lama saya paham arti kata-kata itu. Tanpa bertanya di gugel. Yang kemudian, saya jadi paham atas informasi yang disampaikan. Namun, jika diminta untuk berbicara dengan menirukan bahasa daerah itu, saya tak bisa. Paling hanya satu, dua kata. Artinya, saya hanya mampu listening. 

Maka, kita menjadi paham ketika melihat orang yang lancar berbahasa Inggris setelah dia tinggal beberapa waktu di Amerika, Australia atau negara lain. Atau ada juga orang yang bekerja di Korea, lalu menjadi pintar berbahasa korea. Dan masih banyak contoh lainnya. 

Mungkin sebelumnya ia sudah belajar, tapi praktek langsung dan pengalaman berada di lingkungan itu, menjadi kunci utama untuk benar-benar menguasai. 

Pun barangkali saya menjadi satu orang asing di tempat itu. Sebagaimana dulu juga pernah begitu. Saya diajak naik sepeda motor masuk ke kebun mete. Untuk menengok seseorang dan menunjukkan kebun itu pada saya. Setelah itu saya diajak hadir di tengah pertemuan keluarga mereka. Yang asli di pulau itu. Yang ketika mereka berbicara dengan bahasa daerah, saya tak paham maksudnya. 

Saya bersama keluarga juga pernah diajak masuk dalam satu kebun jagung. Untuk ikut menikmati panen jagung. Dimana kami merupakan orang asing di situ. Yang ketika mereka berbicara, kami tak paham artinya. Yang momen-momen itu saya masih ingat. Karena waktu itu saya sempat berpikir: kenapa saya berani sekali berada di satu tempat yang asing begitu.

Barangkali keberanian itu ada karena saya percaya, mereka adalah orang-orang baik. Saya juga percaya dengan hukum timbal balik. Kalau kita bersikap baik, orang lain juga akan baik. Dan dengan sikap itu, serta kemampuan kita beradaptasi, membuat dimanapun tempatnya, kita akan diterima. Sebagaimana pepatah: dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. 

Begitulah. Pepatah itu rasanya relevan dengan keinginan pemerintah. Pada ASN. Yang tidak hanya harus punya kompetensi teknis dan manajerial. Tapi juga didorong agar memiliki kompetensi sosial kultural. Yang dimanapun ia berada, diharapkan mampu untuk menjadi perekat bangsa.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi