Sarapan botok
-(Kamis, 10 Juli 2025)-
Pagi-pagi sarapan botok. Sesuatu yang tak lazim bagi saya. Namun sebenarnya, semua kembali pada apa yang tersaji di depan kita. Pada banyak tempat di Indonesia, pilihan menu sarapan sangat bergantung pada para UMKM—warung-warung kecil yang menyediakan makanan rumahan untuk masyarakat sekitar. Kalau di suatu daerah hanya ada pecel, ya akhirnya orang sarapan pecel. Kalau yang banyak tersedia nasi kuning, ya mau tak mau orang pun sarapan nasi kuning.
Di beberapa daerah, variasi menu sarapan memang terbatas. Namun di tempat lain, terutama di kota atau pusat keramaian, warung makan kerap menawarkan ragam menu yang lebih luas. Di sinilah pilihan kita menjadi lebih bervariasi. Sarapan pun tidak melulu hanya satu menu berulang. Tidak terus-menerus nasi pecel, soto, atau nasi kuning. Seperti pagi ini: sarapan saya terasa lebih mirip makan siang, karena warung yang saya datangi menyediakan beragam pilihan menu. Salah satunya: botok.
Ada beberapa jenis botok di warung itu—botok ayam, botok patin, botok ati ampela, botok telur asin, dan botok wader. Sebenarnya, saya ingin sekali makan botok wader. Sayangnya sudah habis, kata penjualnya. Kekecewaan pun muncul. Ekspektasi yang tidak terpenuhi memang sering jadi sumber keresahan, apalagi bagi masyarakat modern yang terbiasa dimanjakan pilihan. Kerap kali ada jurang antara harapan dan kenyataan. Kita ingin pulang kampung, tapi masih juga harus naik angkutan umum. Kita ingin disana, tapi masih tetap disini.
Namun hidup harus terus berjalan. Ada hal-hal di luar kendali kita, yang memang tak bisa dipaksakan sesuai kemauan pribadi. Maka, satu-satunya cara adalah mengendalikan perasaan dan pikiran agar tetap tenang dan bahagia. Salah satu caranya, placebo effect—sugesti positif untuk menerima keadaan dengan lapang dada.
Pada akhirnya, saya harus memilih dari pilihan yang ada. Maka saya menjatuhkan pilihan pada botok telur asin. Saya kombinasikan dengan nasi hangat dan sayur lodeh tahu. Ternyata, perpaduan ini menghadirkan rasa yang berbeda dari sarapan saya biasanya—dan rasanya enak. Ditambah lauk tempe goreng, makin lengkap sudah kenikmatannya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Menariknya, saya tak menambahkan sambal apa pun pada piring saya. Namun botok telur asin ini sudah pedas, pas di lidah saya yang memang suka cita rasa pedas. Saya teringat, saat berada di Makkah dan Madinah dulu, rasa pedas adalah kemewahan tersendiri. Menu nasi boks di sana umumnya tidak pedas, dan tak disertai sambal. Untunglah kami membawa sambal asli tanah air—buatan tangan atau buatan pabrik, dalam bentuk sachet atau botol. Sebungkus atau beberapa sendok sambal bisa jadi penyelamat nafsu makan.
Begitulah, sarapan botok pagi ini membuktikan bahwa sarapan tak harus selalu identik dengan pecel, soto, atau nasi kuning. Sesekali, menu makan siang bisa menjadi menu sarapan. Kadang kita perlu mendobrak kebiasaan agar lidah, pikiran, dan hidup kita mendapatkan perspektif baru. Sepele memang, tapi mencoba hal baru, sekecil apa pun, bisa membuat hidup terasa lebih berwarna.
Mungkin di situlah letak indahnya kuliner Nusantara—keragaman rasa yang lahir dari kearifan lokal dan kreativitas orang-orang biasa. Dan betapa beruntungnya kita yang hidup di negeri dengan ragam cita rasa. Tinggal bagaimana kita mau membuka diri untuk mencicipinya, walau di waktu yang tak biasa. Jangan kemudian sudah jauh-jauh ke Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, tak jua menikmati kuliner aslinya.
Selamat makan!