Kenangan & harapan
-(Minggu, 13 Juli 2025)-
Apa yang membedakan antara kenangan dan harapan? Jawabannya sederhana, tetapi dalam: keduanya sama-sama berkaitan dengan waktu, namun cara kita merasakannya sungguh bertolak belakang.
Kenangan sering kali terasa cepat. Ketika kita sudah menjalaninya, melewatinya, lalu suatu sore hujan kita duduk termenung mengingatnya, batin kita sering berkata, “Ah, waktu begitu cepatnya berlalu.” Dua bulan, dua tahun, tiga tahun—rasanya seperti kedipan mata. Tiba-tiba saja, kita sudah kembali ke tempat yang sama, menjejak di tanah yang sama, tetapi kita bukan lagi orang yang sama. Lucunya, entah pengalaman itu pahit atau manis, semua perlahan membaur menjadi satu: kenangan. Dan entah bagaimana, semuanya mendadak terasa indah pada waktunya. Begitulah kenangan—ia selalu berjalan cepat di benak, meski dulu mungkin terasa berat dijalani.
Berbeda sekali dengan harapan. Harapan adalah detak waktu yang melambat. Sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu, sesuatu yang bikin jantung berdebar setiap kita membayangkannya. Kita merapal doa, mengetuk pintu langit, mengatur strategi, bertanya ke orang bijak, bahkan ada yang rela mendaki gunung mencari tempat dan waktu yang katanya paling mustajab. Semua itu dilakukan demi satu hal: semoga harapan itu menjadi nyata.
Dan di sinilah letak paradoksnya: ketika berharap, sehari terasa seminggu, seminggu terasa sebulan. Klise? Iya. Tapi siapa pun yang sedang menunggu pasti mengerti betul rasa ini. Apalagi jika ada kabar bahwa harapan itu akan tiba pada bulan tertentu. Rasanya menunggu pergantian kalender lebih mendebarkan daripada menunggu tanggal gajian. Waktu seakan berjalan malas, menyeret langkahnya, seolah sengaja membuat kita belajar satu senjata paling ampuh: sabar.
Namun, tentu kita tak bisa selamanya terjebak dalam penantian panjang. Hidup bukan sekadar masa lalu atau masa depan. Hidup adalah sekarang. Terlalu larut menunggu hanya akan membuat kita kehilangan detik-detik berharga yang tak akan pernah kembali. Ironisnya, saat harapan itu akhirnya datang, kita sering mendapati diri kita tak lagi sama. Usia sudah bertambah, tenaga tak lagi sekuat dulu, rambut mulai berubah warna, lutut mulai berbunyi krek-krek setiap naik tangga. Inilah paradoks waktu: kita berjuang keras demi masa depan, tetapi ketika masa depan itu tiba, kita kadang lupa merayakan masa kini.
Tak heran jika ada yang bilang, “Berapapun akan dibayar orang, asalkan bisa kembali ke masa muda.” Waktu memang tak bisa dibeli, tetapi penyesalan selalu punya harga. Karena itulah, sebuah kebodohan besar kalau masa muda kita hanya dihabiskan untuk hal-hal semu: scroll medsos berjam-jam, pesta tanpa makna, mengagumi orang lain tanpa pernah membangun diri sendiri. Semua itu hanya kesenangan sementara yang kadang berakhir jadi cerita pahit.
Jadi, apa yang semestinya kita lakukan? Anda sudah tahu. Sederhana saja: menggunakan masa muda untuk hal-hal baik, bermanfaat, dan membahagiakan. Mengerjakan sesuatu yang kelak pantas dikenang, sekaligus realistis untuk diharapkan. Merangkul kenangan, merawat harapan—tetapi jangan lupa menikmati langkah kaki kita hari ini.
Karena pada akhirnya, kita semua sedang menabung dua hal: kenangan untuk diceritakan, dan harapan untuk diperjuangkan. Sementara itu, hidup berjalan di antara keduanya—di sini, di detik ini. Jangan sampai kita hanya jadi penunggu masa depan, padahal hidup sejatinya sedang menatap kita, bertanya: “Apa kabar, anda hari ini?”