Redupnya imajinasi
-(Kamis, 17 Juli 2025)-
Menikmati kembali alur cerita film The Lord of the Rings dan Harry Potter beberapa waktu yang lalu, membuat saya berpikir. Betapa cemerlang imajinasi pengarangnya. Baik pengarang The Lord of the Rings maupun Harry Potter sama-sama berhasil menciptakan begitu banyak karakter, latar peristiwa, dan tentunya alur cerita yang luar biasa hebat dan asyik untuk dinikmati lintas generasi.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin mereka bisa menjadi sehebat itu? Apa yang mereka “makan” sehingga imajinasi mereka bisa begitu liar dan hidup?
Saya hanya menduga-duga begini. Barangkali mereka memang sudah terlatih sejak kecil untuk berimajinasi, dengan khayalan yang bebas dan liar. Barangkali pula sejak dini mereka sudah dibiasakan membaca, baik fiksi maupun nonfiksi. Membaca bagi mereka bukan sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan. Tolkien, misalnya, bukan hanya penulis fiksi, tetapi juga profesor bahasa dan sastra di Oxford yang mendalami mitologi Nordik dan bahasa kuno. Rowling pun menghabiskan masa mudanya dengan membaca karya sastra klasik, dongeng, hingga menulis sejak remaja.
Bisa jadi keduanya juga punya IQ yang tinggi, sehingga mampu merangkai imajinasi yang orang lain tak sanggup memikirkannya. Bagi mereka, membuat dunia rekaan bukan sekadar menulis cerita, tetapi menciptakan “semesta” lengkap dengan sejarah, bahasa, makhluk, dan konflik yang terasa nyata.
Tentu pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita contoh dari mereka? Soal IQ, rasanya sulit untuk langsung disamai. Kecuali sejak kecil sudah diasupi makanan bergizi dan dukungan lingkungan belajar yang memadai. Mereka-mereka yang lebih sering makan nasi dengan lauk kerupuk, rempeyek, dan sambal barangkali akan kesulitan mengejar IQ tinggi jika ekosistem pendukungnya tak ada.
Lalu apa yang masih bisa kita tiru? Barangkali soal membaca buku. Ini terdengar sederhana. Namun faktanya, berapa banyak dari kita yang benar-benar masih gemar membaca buku? Berapa banyak anak-anak muda yang memiliki hobi membaca buku di tengah gempuran media sosial, game, dan gadget?
Beberapa waktu lalu saya sempat ke sebuah toko buku ternama. Terlihat sepi, mungkin karena malam hari. Tapi saya masih melihat ada anak-anak di sana. Artinya, masih ada harapan bahwa sebagian kecil generasi masih mau membaca buku. Meski hanya segelintir, merekalah penanda bahwa benih imajinasi belum punah.
Tentu saya menyimpulkan ini hanya berdasarkan pengamatan dan perasaan saya saja, setelah melihat perkembangan dunia pendidikan kita dan perilaku di media sosial.
Karena itu, rasanya perlu terobosan nyata dari sekolah-sekolah untuk kembali membangkitkan semangat membaca buku di kalangan anak-anak kita. Satu contoh yang patut diapresiasi adalah lahirnya inovasi dari seorang kepala daerah yang mewajibkan siswa membaca sejumlah buku jika ingin lulus. Kebijakan ini patut dicontoh daerah lain, tentu dengan dukungan fasilitas dan pendampingan yang nyata.
Namun, dunia sekarang bergerak cepat. Teknologi maju pesat. Kehadiran AI memunculkan pertanyaan baru: apakah masih relevan manusia punya kegemaran membaca? Untuk apa membaca, jika semua jawaban sudah bisa dicari lewat internet dan AI yang ada di genggaman kita? Bahkan ketika ingin berimajinasi, kita pun bisa dibantu AI.
Maka ketika ada seminar yang mengangkat tema literasi, membaca, dan menulis, muncul suara sinis: apakah di zaman AI ini hal semacam itu masih perlu? Rasanya tak perlu lagi kita repot-repot memaksa anak-anak muda membaca atau menulis. Biarlah mereka cukup menjadi penonton YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya. Biarlah mereka punya IQ yang tak perlu terlalu tinggi, toh prestasi pun kerap dibatasi oleh para seniornya sendiri yang masih resisten pada anak muda berprestasi.
Memang terdengar getir. Tapi saya yakin Anda paham—bagian akhir ini adalah sarkasme. Sebuah tamparan kecil agar kita sadar: kalau membaca dan menulis mati, maka mati pula daya imajinasi, yang membedakan kita dari sekadar penonton layar medsos.