Kelas kosong

-(Selasa, 8 Juli 2025)-

Setelah mengantar Ibu kami ke stasiun dan melepas beliau sampai naik kereta api, kami kemudian berencana untuk bersilaturahmi dengan seorang teman kami yang satu regu dalam perjalanan ibadah haji.

Dalam perjalanan itu, ia menunjukkan kepada saya beberapa SD yang sudah kehabisan murid. Setidaknya ada tiga SD dalam perjalanan sekitar 30 menit itu. Ini tentu menjadi fenomena menarik untuk diperhatikan dan dipikirkan lebih dalam. Mengapa bisa terjadi? Lalu apa yang sebaiknya dilakukan?

Pertanyaan ini barangkali terdengar sederhana—bahkan mungkin muncul dari seseorang yang “kurang kerjaan” atau seolah sengaja mencari-cari masalah. Karena saya yakin, persoalan semacam ini sudah menjadi perhatian pemerintah daerah setempat. Namun, rasanya tidak ada salahnya kita ikut memikirkannya.

Salah satu dugaan yang masuk akal adalah semakin ketatnya persaingan dengan sekolah lain. Di banyak tempat, SD negeri yang berdekatan dengan madrasah ibtidaiyah atau SD Islam swasta perlahan-lahan kehabisan siswa. Banyak orang tua kini lebih memilih menyekolahkan anaknya ke MI atau SD Islam. Salah satu alasannya tentu karena kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan agama yang lebih mendalam.

Namun, faktor mutu juga ikut berperan. Banyak orang tua menilai kualitas sekolah dari kondisi fisik bangunan, lingkungan belajar, dan sarana penunjang. Tidak jarang madrasah justru tampak lebih terawat dibandingkan SD negeri di tempat yang sama. Ini bisa terkait dengan pola pengelolaan dan sumber pendanaan yang berbeda. Madrasah Ibtidaiyah (Negeri) dibiayai melalui APBN di bawah Kementerian Agama, sementara SD negeri dikelola pemerintah daerah.

Perbedaan tata kelola inilah yang sering memengaruhi mutu layanan pendidikan di lapangan. Meskipun demikian, persoalan ini tidak bisa disederhanakan hanya dengan membandingkan anggaran pusat dan daerah. Faktor lain seperti pengelolaan sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, peran komite sekolah, dan partisipasi masyarakat juga turut memengaruhi.

Karena itu, wacana penyamaan standar pengelolaan—apakah melalui sentralisasi sebagian kewenangan atau penguatan kapasitas daerah—layak dipikirkan kembali. Sentralisasi bukan satu-satunya jawaban. Yang lebih penting adalah memastikan setiap sekolah, baik SD negeri maupun madrasah, memiliki kualitas layanan yang setara dan menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

Bagaimanapun juga, perbedaan pilihan orang tua—antara SD negeri, madrasah, atau sekolah swasta—adalah hal wajar dalam masyarakat yang majemuk. Namun, ruang-ruang kelas yang kosong semestinya menjadi pengingat agar kita tidak hanya sibuk dengan urusan administratif, tetapi juga peka melihat kebutuhan riil di lapangan.

Karena pada akhirnya, di bawah langit Indonesia yang sama, pendidikan dasar yang bermutu dan merata adalah tanggung jawab bersama: pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, orang tua, dan masyarakat.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN