Haji mabrur
-(Rabu, 2 Juli 2025)-
Selama berada di Makkah, para jamaah senantiasa melatih diri untuk fokus dalam beribadah. Terlebih lagi dengan nilai pahala sholat di Tanah Haram yang mencapai seratus ribu kali lipat dibandingkan sholat di tempat lain. Nilai pahala yang begitu besar ini menjadi pendorong kuat bagi setiap jamaah untuk meraih keutamaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Daya tarik utama Makkah, yang memberikan rasa haru dan menyentuh hati, tentu saja adalah keberadaan Ka’bah. Selain kesempatan untuk sholat di dekat Ka’bah, ibadah istimewa yang hanya dapat dilakukan di tempat ini adalah tawaf. Inilah yang membuat para jamaah selalu memanfaatkan keberadaannya di Makkah untuk bertawaf, baik dalam rangkaian umroh maupun sekadar tawaf sunnah. Tak heran, pelataran Ka’bah tak pernah sepi dari lautan manusia yang rindu beribadah.
Saya sendiri pernah membayangkan, bagaimana rasanya seandainya kami berdua bisa bertawaf mengelilingi Ka’bah tanpa ada orang lain di sekitarnya. Betapa itu akan menjadi anugerah yang tak terhingga nilainya, jika benar-benar terwujud. Namun tentu saja itu hanya sebuah khayalan semata. Bagaimanapun, setiap muslim berhak mendapat tempat di pelataran Ka’bah untuk menunaikan ibadahnya.
Selama di Makkah, kami hampir setiap hari datang ke Masjidil Haram. Semua sholat fardhu berjamaah di Masjidil Haram, Alhamdulillah, pernah kami ikuti. Kami juga sudah merasakan beribadah di semua lantai masjid, termasuk bangunan barunya yang megah — semuanya pernah kami jelajahi. Insyaallah, kami sudah cukup memahami seluk-beluk Masjidil Haram dengan segala sudut dan suasananya.
Karena itu, ketika tiba waktunya menunaikan tawaf wada — tawaf perpisahan sebelum meninggalkan Makkah — hati terasa begitu berat. Ada rasa haru, sedih, dan perasaan campur aduk yang membuat air mata menetes tanpa disadari. Bahkan saat menulis ini pun, mata terasa pedih mengingat betapa perihnya perpisahan itu. Saya yakin, semua jamaah pun merasakan hal serupa saat menunaikan tawaf wada.
Kami tentu berharap semangat beribadah ini terus hidup dan tumbuh dalam diri kami, meskipun kelak kami tak lagi berada di Makkah ataupun di Madinah. Harapannya, kami bisa tetap istiqomah menjaga sholat fardhu berjamaah, rajin membaca Al-Qur’an, menunaikan sholat sunnah, dan memperbanyak ibadah lainnya
Lebih dari itu, semoga semangat ibadah tidak hanya berhenti pada ibadah mahdhah yang menghubungkan kita dengan Allah semata, tetapi juga berlanjut pada ibadah muamalah. Kami ingin terus belajar menjaga pikiran agar tetap positif, menata tutur kata agar santun, serta mengendalikan langkah dan tindakan agar terhindar dari perbuatan tercela.
Semua orang tentu paham bahwa hal ini tidaklah mudah. Justru karena itulah, kita harus terus berupaya mewujudkannya. Salah satu kunci terpenting untuk menjaga semua itu terletak pada kemampuan mengendalikan ego dan hawa nafsu kita. Semoga latihan kesabaran dan kerendahan hati selama ibadah haji benar-benar membekas dan membentuk perilaku serta kebiasaan yang semakin terpuji.
Saya kira, itulah yang disebut haji mabrur.