Mengantar Maba
-(Sabtu, 19 Juli 2025)-
Sekitar pukul delapan pagi, kami baru berangkat menuju Kota Gudeg. Kota yang juga dikenal sebagai Kota Pelajar, Kota Istimewa. Katanya kota ini selalu menghadirkan nostalgia, seperti dalam lirik lagunya KLa Project.
Berangkat jam segitu tentu agak mepet, sebab kami harus tiba sebelum pukul dua belas siang. Bisa sampai tepat waktu? Itulah gunanya pembangunan infrastruktur yang semakin maju. Kini, akses ke Jogja makin mudah berkat jalan tol Solo–Jogja yang kebetulan awal Juli lalu sudah dibuka. Dari kota kami, kami bisa langsung masuk jalur tol, menempuh perjalanan yang jauh lebih cepat dibandingkan jalur biasa. Jalur tol ini berakhir di pintu sebelum Prambanan, karena nampaknya ruas Prambanan–Jogja masih dalam tahap penyelesaian. Meski begitu, jalur ini sudah memangkas banyak waktu perjalanan.
Alhamdulillah, perjalanan kami lancar tanpa hambatan berarti. Begitu tiba di Jogja, kami langsung menuju rumah sakit untuk tes bebas napza dan mengambil hasilnya. Selesai urusan di rumah sakit, kami bergegas ke kampus. Sebelum waktu Dhuhur, loket administrasi masih buka. Lalu, kami segera menuju lokasi pengambilan jaket almamater dan pembuatan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa). Alhamdulillah, Wauw kecil diterima di FKG dan tahun ini resmi menjadi maba—mahasiswa baru.
Namun, pas tiba di depan ruangan, azan Dhuhur berkumandang. Di depan ruangan pengambilan jaket dan KTM tertulis jelas: istirahat.
Maka kami putuskan untuk ke masjid, menunaikan sholat Dhuhur berjamaah, lalu kami jamak dengan sholat Ashar.
Saat berjalan melewati area terbuka yang terpapar terik matahari siang itu, saya merasakan sensasi yang berbeda. Panasnya tak lagi terasa menyengat seperti teriknya Makkah dan Madinah. Ada bagian sombong dalam diri saya yang berbisik, “Sekarang, panas begini mah kecil. Tak ada apa-apanya dibanding panasnya di Makkah dan Madinah.”
Perasaan semacam ini sama seperti ketika saya berada di tempat dingin. Dulu, semasa SMA, saya pernah mendaki Gunung Lawu hingga ke puncak Hargo Dumilah. Sejak merasakan dinginnya udara di puncak Lawu, suhu AC, hujan, atau dingin pagi kemarau rasanya tak lagi menantang—semuanya terasa biasa saja. Pengalaman ekstrem sering kali membuat standar kita berubah.
Usai sholat, kami kembali ke gedung kampus untuk menyelesaikan pengambilan jaket almamater dan KTM. Namun, sebelum itu, kami sempat makan siang di kantin kampus. Menikmati nasi hangat dan lauk sederhana di antara beberapa mahasiswa, sungguh menghadirkan rasa syukur tersendiri.
Semua urusan di kampus rampung sesuai jadwal. Selanjutnya, kami mulai berburu tempat kos untuk Wauw kecil. Beberapa lokasi kami datangi, dan akhirnya pilihan jatuh pada sebuah kos yang masih dalam tahap finishing. Kos baru, dengan perabot baru, akses dan area parkir yang memadai. Belum akan ditempati saat itu, masih menunggu beberapa waktu kedepan. Setelah masa perkuliahan berjalan.
Setelah semua beres, kami bergerak menuju ke salah satu tempat kuliner. Sekadar beristirahat, mengobrol ringan, menikmati suasana Jogja sore hari sambil meneguk minuman dan menyantap makanan. Sebenarnya sudah ada niat untuk menginap, tapi kami memutuskan untuk langsung pulang hari itu juga. Keputusan ini tentu dipengaruhi keberadaan jalan tol yang membuat perjalanan pulang lebih cepat dan nyaman.
Anda sudah tahu. Jika tidak lewat tol, jalur Solo–Prambanan dipenuhi puluhan lampu merah dan kendaraan besar seperti truk pasir yang sering membuat laju terhambat. Bayangkan, jika di setiap lampu merah kita berhenti minimal satu menit, berapa waktu yang habis? Belum lagi jika jalanan padat. Kini, dengan adanya tol, semua itu berkurang drastis.
Dari pintu tol Prambanan hingga kembali ke kota kami, perjalanan pulang hanya memakan waktu sekitar satu jam. Kami bisa menghemat waktu hingga 2–3 jam, bahkan lebih, bergantung situasi lalu lintas. Ini tentu sebuah kemajuan yang patut disyukuri—bukti nyata bahwa infrastruktur yang baik berdampak langsung pada keseharian kita.
Begitulah. Perjalanan kami ke Jogja tempo hari bukan hanya tentang mendampingi Wauw menapaki langkah baru di bangku kuliah, tetapi juga pengingat betapa kita patut bersyukur pada kemajuan yang membuat hidup lebih efisien. Dan Jogja? Seperti biasa, selalu menghadirkan cerita baru untuk dikenang.