Petugas Masjid
-(Selasa, 1 Juli 2025)-
Pernahkah Anda menjadi panitia sebuah rapat koordinasi (rakor) atau acara penting lainnya? Jika pernah, Anda pasti paham bahwa menjadi panitia berarti bersedia memberikan pelayanan sepenuh hati kepada peserta. Sebagai panitia, kita rela mengutamakan kebutuhan peserta daripada keinginan pribadi.
Saya ingat betul, dahulu ketika menjadi panitia, kami terbiasa makan belakangan. Bagi kami, memastikan peserta merasa nyaman, terlayani, dan acara berjalan lancar adalah prioritas utama. Kami juga sigap mengarahkan peserta ke ruang acara, membantu mereka yang kebingungan, bahkan dengan sabar meminta mereka untuk menempati kursi bagian depan terlebih dahulu. Semua itu kami lakukan agar acara dapat berlangsung tertib dan sukses.
Pengalaman sederhana ini mengajarkan saya bahwa panitia identik dengan pelayanan — sebuah sikap rela berkorban demi kepentingan orang lain.
Kenyataannya, semangat pelayanan semacam ini juga saya lihat pada para petugas di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Setiap saya ke masjid, saya selalu memperhatikan bagaimana para petugas keamanan, petugas kebersihan bekerja dengan penuh dedikasi.
Suatu ketika, saya pernah sholat di bagian pinggir shaf yang bersebelahan dengan jalur lalu lintas jamaah. Dari tempat saya berdiri, saya melihat beberapa petugas baru bergabung sholat pada rakaat kedua atau ketiga. Artinya, mereka menjadi jamaah masbuk — tertinggal rakaat pertama.
Mereka rela menunda sholat berjamaah di rakaat awal, bahkan kadang harus sholat di bagian lantai tanpa karpet. Semua dilakukan demi memastikan pelaksanaan ibadah berjalan lancar, tidak ada hambatan, dan jamaah merasa aman. Ini adalah bentuk nyata profesionalisme dan manajemen pelayanan yang luar biasa dari pengelola masjid.
Namun, pelayanan tidak selalu berarti memanjakan keinginan semua orang. Justru dalam melayani banyak orang, ketegasan penegakan aturan menjadi bagian penting. Tidak semua keinginan jamaah bisa diakomodasi.
Sebagai contoh, setelah tawaf, saya sering melihat orang tetap memaksakan diri sholat sunnah di jalur lalu lintas jamaah. Mungkin karena tempat sholat di sekitar Ka’bah sudah penuh, mereka enggan bergeser ke area yang lebih longgar di belakang. Akibatnya, jalur padat pun tersumbat.
Dalam situasi seperti ini, petugas keamanan masjid akan bertindak tegas. Mereka akan mengusir, bahkan mendorong jamaah yang sholat di tempat yang mengganggu jalur. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin tampak seperti pelecehan ibadah. Tapi jika dipahami lebih dalam, tindakan tegas itu justru bentuk perlindungan agar keselamatan dan kelancaran ibadah ribuan jamaah tetap terjaga.
Hal serupa juga saya saksikan di Raudhah, salah satu tempat mustajab untuk berdoa di Masjid Nabawi. Banyak orang ingin berlama-lama berdoa di sana. Namun, karena area Raudhah tidak terlalu luas dan ratusan orang mengantre, petugas dengan sigap mengingatkan dan meminta jamaah untuk bergantian.
Di Masjidil Haram, teriakan para petugas seperti, “Haji… haji… ya Allah haji…!” sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Teriakan itu bukanlah kemarahan, melainkan peringatan agar jamaah tidak berhenti, duduk, atau sholat di jalur lalu lintas. Atau terkadang, untuk menertibkan orang yang masuk ke area yang belum dibuka.
Dari luar, sikap para petugas ini bisa disalahartikan sebagai kasar atau galak. Namun, di balik itu semua, ada sisi kemanusiaan yang kadang membuat saya terkesan.
Suatu ketika, saya melihat seorang petugas keamanan tiba-tiba menghampiri pasangan suami istri lansia yang sedang asyik berfoto selfi di jalur keluar setelah tawaf. Dengan sigap, petugas itu meminta ponsel mereka. Sang suami tampak cemas, wajahnya memucat, mungkin takut jika fotonya akan dihapus atau ponselnya disita. Namun, alih-alih menegur keras, petugas itu malah meminta pasangan tersebut untuk berpose. Ia mengambil foto mereka, lalu mengembalikan ponsel sambil tersenyum. Si suami pun tampak lega, meski sempat kesal dan gemas karena merasa ‘dikerjai’.
Momen kecil ini menjadi pengingat bahwa pelayanan kadang memerlukan ketegasan, disiplin, tetapi juga sentuhan humor dan kemanusiaan.
Begitulah. Semoga sedikit pengalaman ini bisa menjadi renungan, bahwa di balik ibadah yang khusyuk, ada banyak orang yang rela menomorduakan diri demi kita — agar kita bisa beribadah dengan tenang.