Pulang tanah air
-(Kamis, 3 Juli 2025)-
Setelah kurang lebih 40 hari beribadah di Makkah dan Madinah, akhirnya kami tiba kembali di tanah air tercinta. Alhamdulillah, seluruh anggota kloter kami pulang dalam keadaan lengkap dan selamat. Ini adalah nikmat besar yang patut kami syukuri bersama.
Dari Bandara Madinah, pesawat kami lepas landas sekitar pukul 7 malam waktu setempat. Dalam perjalanan pulang, pesawat transit di India untuk mengisi bahan bakar. Kami tetap berada di dalam kabin, menanti dengan sabar hingga siap terbang kembali ke Indonesia.
Sebelum terbang dari Madinah, pihak maskapai kembali mengingatkan kami terkait barang bawaan. Ada beberapa barang yang tidak diperbolehkan naik pesawat, meski bagi sebagian jamaah barang-barang itu terasa berharga. Mau tidak mau, sebagian barang akhirnya kami tinggal di bandara.
Topik soal barang bawaan ini memang menjadi diskusi hangat di antara para jamaah di hari-hari menjelang kepulangan. Pertanyaan-pertanyaan seputar apa saja yang boleh dibawa, apa yang harus ditinggal, berapa berat maksimal koper besar dan kecil, hingga tas tambahan apa yang diizinkan, kerap muncul di setiap obrolan.
Maklum saja, andai tak ada pembatasan, bisa jadi semua tas jamaah akan penuh dengan oleh-oleh dan barang pribadi. Banyak yang sudah membayangkan betapa bahagianya keluarga, teman, dan tetangga yang akan menerima buah tangan dari Tanah Suci. Namun kita juga harus sadar, semua yang berlebihan pasti ada risikonya. Batasan itu diterapkan bukan untuk mempersulit, tetapi demi keselamatan dan kelancaran penerbangan, serta kenyamanan semua jamaah.
Siang itu, pesawat kami akhirnya mendarat di Bandara Solo. Setelah melalui proses imigrasi, kami langsung diarahkan naik bus menuju asrama haji. Di sana, prosesi penyambutan dan doa berjalan singkat, hangat, tanpa seremoni bertele-tele yang melelahkan. Usai itu, kami dibagi naik bus sesuai kecamatan domisili. Cara ini menurut saya patut diapresiasi—praktis, tertib, dan memudahkan jamaah tiba di rumah lebih cepat. Penumpukan massa pun bisa dihindari.
Dalam perjalanan dari asrama haji menuju kampung halaman, bus melaju di jalan tol. Di kanan kiri, terbentang hamparan sawah hijau yang menyejukkan mata. Pemandangan ini terasa sangat kontras dibandingkan dengan suasana di Makkah atau perjalanan menuju Madinah, di mana sejauh mata memandang hanyalah bentang bebatuan, bukit tandus, dan pasir.
Di tengah perjalanan, rasa syukur merayap perlahan di hati. Betapa Allah menganugerahi negeri ini alam yang subur, tanah yang produktif, dan air yang berlimpah. Membandingkan dengan kondisi geografis Arab yang kering dan tandus, kita semestinya lebih mudah dalam memproduksi makanan dan kebutuhan hidup.
Kadang saya berandai-andai, bagaimana jika Rasulullah dahulu berhijrah ke wilayah seperti Nusantara kita ini. Barangkali beliau akan merasa betah tinggal di negeri yang hijau dan makmur ini. Meski tentu, kita paham hijrah ke Madinah saat itu adalah bagian dari skenario ilahi yang begitu sempurna—masyarakatnya yang terbuka, mendukung dakwah, dan kondisi geografisnya pun sedikit lebih hijau daripada Makkah.
Namun syukur atas alam tak seharusnya berhenti di lisan. Alam yang hijau dan subur adalah amanah. Kita wajib menjaganya, merawatnya, agar tak berubah menjadi bencana seperti banjir, longsor, atau kekeringan akibat ulah tangan manusia.
Saya pun merenung, betapa anugerah kemudahan ini barangkali telah membentuk mental yang kadang kurang siap menghadapi kerasnya tantangan. Masyarakat di Jazirah Arab tumbuh di antara panas, pasir, dan batu, menjadikan mereka tangguh dan ulet. Sementara kita di negeri yang serba mudah, harus pandai-pandai melatih diri agar tak terlena. Jangan sampai limpahan nikmat justru membuat kita manja, rapuh, dan lemah menghadapi cobaan.
Begitulah. Semoga sepulang dari Tanah Suci, ibadah haji tak hanya meninggalkan kenangan spiritual, tapi juga bekal untuk menjadi manusia yang lebih bersyukur, dan lebih peduli pada alam.