Halusinasi digital

-(Rabu, 30 Juli 2025)-

Semoga Anda tahu film A Beautiful Mind. Film ini diangkat dari kisah nyata kehidupan John Nash, seorang ahli matematika jenius dan peraih Nobel Ekonomi.

Nash mengalami skizofrenia akut. Ia mengalami halusinasi berat, hingga merasa dirinya adalah agen rahasia. Dalam film tersebut, ia digambarkan sering bertemu dan berkomunikasi dengan seorang atasan dari lembaga intelijen, serta memiliki teman sekamar yang akrab dengannya. Teman sekamar ini bahkan memiliki seorang keponakan perempuan yang kerap muncul di sekitar Nash.

Detail cerita dan gambaran halusinasinya bisa Anda temukan dengan mudah di YouTube. Barangkali ada dua hal utama yang membuat Nash mampu bertahan dan pada akhirnya bisa kembali menjalani kehidupan, meski halusinasi itu terus muncul dalam pikiran dan penglihatannya.

Pertama, adalah kesetiaan dan ketabahan sang istri. Ia begitu sabar dan penuh cinta dalam mendampingi Nash, bahkan di masa-masa tersulit sekalipun. Sang istri menjadi penopang utama, support system yang memungkinkan Nash melewati fase kritis dan bertahan hingga usia tua. Tanpa keberadaan dan keteguhan istrinya, mungkin Nash tak akan mampu bertahan sejauh itu.

Kedua, adalah akal sehat Nash sendiri. Meskipun pikirannya terus diganggu halusinasi, ada bagian dari dirinya yang masih mampu berpikir logis. Ia menyadari bahwa orang-orang yang selalu dilihat dan diajaknya bicara tak pernah mengalami perubahan fisik. Waktu berlalu, tubuhnya sendiri menua, tetapi ketiga tokoh dalam pikirannya tetap seperti semula. Mereka tidak bertambah usia. Kesadaran ini perlahan menguatkan keyakinannya bahwa mereka memang tidak nyata—mereka hanya halusinasi.

Di luar konteks skizofrenia, sesungguhnya kita pun kadang mengalami semacam “halusinasi” dalam bentuk lain—khususnya ketika kita berada dalam kutub informasi yang tertutup atau sepihak. Ada kalanya kita begitu meyakini sebuah informasi hanya karena terus-menerus terekspos pada narasi yang sama. Tanpa disadari, kita membentuk keyakinan yang bisa jadi berlawanan dengan akal sehat.

Apalagi di zaman media sosial seperti sekarang ini. Algoritma digital bekerja dengan cara yang tak kasatmata namun sangat kuat: ia terus memasok kita dengan informasi yang seragam, berdasarkan preferensi dan perilaku kita sebelumnya. Akibatnya, kita terjebak dalam echo chamber, lingkaran informasi homogen yang memperkuat keyakinan kita, sekaligus menyingkirkan sudut pandang lain.

Padahal, bisa jadi yang kita terima bukanlah fakta, melainkan opini, persepsi, atau bahkan manipulasi yang dibungkus seolah-olah sebagai kebenaran.

Begitulah. Di zaman media sosial ini, “skizofrenia” terkadang melanda kita dalam bentuk baru—ketika kita tak menyadari bahwa algoritma sedang bekerja, dan kita menjadi bagian dari ilusi kolektif yang dibentuk oleh sistem digital. Seharusnya, kita tetap waspada dan sadar bahwa informasi yang kita konsumsi perlu diuji dari berbagai sisi. Kita perlu melatih kemampuan untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap sudut pandang lain—mencari informasi both sides, agar tidak menjadi korban dari halusinasi digital yang mengaburkan realitas.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN