Kota atau pedalaman?

-(Kamis, 24 Juli 2025)-

Mari kita membayangkan dua orang yang sama—pekerjaan, jabatan, penghasilan—tetapi berada di dua tempat yang berbeda.

Pertama, orang yang tinggal dan bekerja di kota besar. Ia tentu mesti menghadapi problematika khas kota besar. Mulai dari kemacetan, jarak tempat tinggal yang jauh dari lokasi kerja, polusi, kepadatan rumah dan penduduk, hingga ritme bekerja yang dituntut serba cepat. Maka, sudah barang tentu ia menghadapi banyak tekanan dari lingkungan sekitar, yang bisa menimbulkan stres. 

Namun di balik tekanan itu, ada sisi positif. Ia berada di pusat ekonomi, pusat perhatian, dan pusat kekuasaan. Barangkali ia akan memiliki karier yang lebih cepat karena dikenal oleh pimpinan yang punya kuasa untuk menentukan jabatan. Selain itu, kesempatan membangun relasi dan mengembangkan diri pun terbuka luas di tengah pusat pertumbuhan ini.

Kedua, orang yang tinggal dan bekerja di kota kecil. Bisa jadi di kota pedalaman di satu pulau besar, dengan transportasi darat yang mesti ia tempuh berjam-jam. Bukan karena macet, tetapi karena memang jauh lokasinya. Tak ada kemacetan, rumah penduduk juga masih jarang-jarang. Udara masih terasa segar, kicau burung dan suara tupai masih selalu terdengar di pagi hari saat ia berjalan-jalan di dekat kebun atau taman. 

Meski makanan tertentu agak mahal karena harus didatangkan dari luar, masih banyak pilihan makanan yang lebih terjangkau. Bahkan sumber makanan seperti buah barangkali masih alami, terbebas dari pestisida atau rekayasa genetika. Ia menjalani hari-hari dengan sangat santai. Tak ada yang mendesak, karena begitulah ritme hidup di kota kecil. Benar-benar slow living. Hidup teratur dengan jam tidur yang mencukupi. Hanya saja, kariernya tak semoncer orang pertama yang tinggal di kota besar.

Perbandingan ini tentu tidak mutlak benar untuk semua orang. Dua gambaran tersebut barangkali tidak sempurna, tetapi cukup memberi gambaran bagaimana setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan. Mana yang kita pilih? Semua kembali kepada latar kehidupan dan kebiasaan masing-masing orang. 

Bagi yang sudah terbiasa hidup di kota besar, tinggal di kota kecil dengan suasana pedesaan barangkali justru membuatnya merasa sangat kesepian. Begitu pula sebaliknya, bagi yang terbiasa hidup di kota kecil dengan banyak kesunyian, hidup di kota besar bisa membuat sesak napas karena banyak tekanan.

Namun, tidak semua orang bebas memilih. Adakalanya kita “dipaksa” untuk menjalani hidup di tempat yang tidak sesuai dengan latar belakang kita. Sudah lama terbiasa hidup di kota besar, suatu waktu harus menjalani hidup di kota kecil yang slow living, pun sebaliknya. Sudah lama hidup di kota kecil, tiba-tiba harus pindah ke kota besar yang penuh kemacetan dan kebisingan.

Pada akhirnya, semua kembali pada kemampuan kita masing-masing untuk beradaptasi. Sebab, mau tinggal di mana pun, kemampuan menyesuaikan diri adalah kunci untuk bisa hidup nyaman, damai, dan tetap berkembang.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN