Ikhlas menunggu

-(Senin, 14 Juli 2025)-

Kenyataannya, kita seringkali tak punya banyak pilihan selain menghela napas panjang—atau kalau mau, menggerutu pelan dalam hati—ketika mendapati maskapai tiba-tiba mengubah jadwal penerbangan. Mundur dua jam dari jadwal semula, lalu tiba-tiba ditambah dua jam lagi, persis saat kita sudah duduk manis di ruang tunggu bandara. 

Saya kadang bertanya-tanya—dan saya yakin saya tidak sendirian—apakah ini memang murni soal alasan operasional yang misterius itu, atau sebenarnya ada akal-akalan agar maskapai tak perlu membayar kompensasi keterlambatan di atas tiga jam. Apa memang bannya bocor? Pilotnya ketiduran? Burung nyasar ke mesin pesawat? Atau ada “operasional lain” yang entah siapa yang benar-benar paham maksudnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain. Tak bisa pindah maskapai mendadak, tak bisa juga protes terlalu kencang, apalagi berharap semua penumpang demo bersama—paling banter saling tatap penuh pengertian sambil senyum kecut di kursi ruang tunggu.

Situasi ini, kalau dipikir-pikir, mirip dengan kondisi jamaah haji reguler di Arafah dan Mina. Sudah tahu kasur di dalam tenda berhimpitan, toilet antre, tetap harus dijalani dengan sabar. Karena memang tak ada opsi lain, kecuali pasrah.

Biasanya saya memilih lebih sering diam. Pasrah. Bersabar. Membiarkan delay itu lewat begitu saja, seperti mendung yang akhirnya bubar sendiri. Buat apa repot marah-marah kalau memang tak ada yang bisa diubah?

Daripada kesal, saya lebih memilih mengisi waktu tunggu dengan menulis, menonton ceramah di YouTube, mendengarkan podcast, atau sekadar mengamati penumpang lain.

Berpikir positif—berbaik sangka pada Tuhan—kadang jadi penolong paling mujarab. Siapa tahu, kalau saya terbang lebih awal tadi, justru ada hal buruk yang menunggu di langit. Siapa tahu, delay ini justru menunda bencana. Siapa tahu, Tuhan sedang menyiapkan pertemuan tak terduga di ruang tunggu. Kita tak pernah tahu.

Begitulah cara kita, manusia, berdamai dengan keadaan. Kadang cara ini memang mirip menipu diri sendiri, semacam self-hypnosis supaya hati tetap tenang. Tapi percayalah, menipu diri sendiri demi ketenangan batin lebih sehat daripada membiarkan amarah menggerogoti syaraf. Toh ujung-ujungnya pesawat juga tetap delay.

Mungkin inilah buah dari perjalanan spiritual ketika berhaji tempo hari. Di Arafah, di Mina, saya belajar satu hal penting: sabar dan ikhlas bukan cuma soal bertahan di tengah panas dan antrean, tapi juga soal merelakan hal-hal di luar kendali. Saya kira, semakin kita bersabar, semakin kita ikhlas, semakin kita pasrah—anehnya, di situlah kadang Tuhan malah membukakan jalan dan menghadirkan apa yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita minta.

Dan kalau pun tidak, ya setidaknya kita tetap sehat hati, tetap bisa pulang dengan kepala dingin, tanpa menambah dosa gara-gara memaki petugas bandara yang juga hanya menjalankan tugasnya.

Jadi kalau pesawat Anda nanti delay, nikmati saja.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN