Paradoks manusia
-(Sabtu, 26 Juli 2025)-
Bagaimanapun, musuh sejati manusia itu ya dirinya sendiri. Ada bagian dalam diri manusia yang selalu berkeinginan untuk melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan norma.
Atau bisa jadi, dulu aturan atau norma itu dibuat setelah melihat sifat dasar manusia yang, jika dibiarkan, akan membuat manusia tak ada bedanya dengan binatang.
Namun di balik itu, manusia juga punya kelebihan berupa rasa empati yang ia miliki. Besar kecilnya bergantung pada lingkungan, serta bagaimana empati itu dilatih dan berkembang. Karena apa pun, karakter manusia pada dasarnya adalah soal kebiasaan.
Jauh melampaui norma dan etika, barangkali rasa empati adalah satu-satunya ukuran yang menunjukkan kesungguhan dan keikhlasan seseorang dalam merespons orang lain.
Ketika seseorang berusaha memberikan informasi kepada kita, padahal kita sebenarnya sudah tahu dan paham tentang informasi itu, respon apa yang akan kita lakukan atau ucapkan?
Apakah kita akan berkata, “Ya, saya sudah tahu,” yang bisa saja membuat orang yang memberi tahu itu kecewa, sedih, dan menyesali diri, mengapa ia tadi berbicara begitu. Bahkan, ada kalanya membuat hatinya terluka.
Ataukah kita akan berkata, “Oh gitu ya, terima kasih informasinya,” yang dengan jawaban itu, saya kira, akan membuat rasa senang dan nyaman bagi orang yang memberikan informasi tadi.
Masalahnya, bukankah itu artinya kita tidak jujur? Bahwa sebenarnya kita sudah tahu soal itu. Di situlah letak paradoksnya. Adakalanya “kebohongan putih” itu justru membuat orang lebih nyaman daripada melihat atau mendengar fakta yang sesungguhnya. Barangkali begitulah cara kerja empati. Tentu cara itu bukan dimaksudkan untuk menipu orang lain dan mengambil keuntungan. Saya kira inilah yang membedakan kebohongan karena empati dengan kebohongan untuk kepentingan diri sendiri. Ini lebih kepada bagaimana membuat orang lain lebih nyaman secara emosional.
Begitulah manusia. Sungguh unik jika kita terus ulik. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia menulis:
“Pengetahuanmu tentang manusia takkan pernah selesai. Kau akan selalu terkagum-kagum, dan kau takkan pernah habis-habisnya mempersoalkan tingkah-laku mereka. Kau akan merasa heran, terharu, terhina, dan tercengang-cengang sendiri. Pengetahuanmu takkan pernah kemput.”