Kredit macet

-(Selasa, 15 Juli 2025)-

Saya merasa penasaran dengan banyaknya iklan di koran regional yang berisi pengumuman lelang eksekusi hak tanggungan dari satu bank. Ada pengumuman lelang pertama, ada pula lelang kedua. Bahkan setiap kali membuka koran regional itu, saya selalu menemukannya.

Ini tentu terkait dengan kredit macet. Ketika cicilan tak lagi terbayar, maka agunan yang dulu dijaminkan akhirnya harus dilelang oleh pihak bank untuk menutup kerugian. Pertanyaannya, kenapa pinjaman bisa macet? Tentu jawabannya tidak tunggal. Ada banyak faktor yang membuat satu pinjaman tidak bisa dilunasi. Bisa jadi usaha yang dibiayai gagal, pendapatan menurun, kondisi ekonomi berubah, atau karena pengelolaan keuangan pribadi yang kurang hati-hati.

Apakah hal ini juga mencerminkan kondisi ekonomi secara umum? Saya tidak ingin buru-buru berspekulasi. Namun, barisan iklan lelang yang muncul hampir setiap edisi setidaknya menunjukkan bahwa persoalan kredit macet masih terus ada, berulang dari waktu ke waktu.

Saya hanya mencoba membayangkan, apa yang mendorong seseorang pada awalnya meminjam uang ke bank. Barangkali ada dua alasan besar. Pertama, untuk keperluan usaha. Pinjaman dijadikan modal: untuk beternak, berkebun, atau merintis usaha kecil di rumah. Ini masih lebih baik karena uang dipakai untuk kegiatan produktif yang, jika dikelola dengan serius, bisa mendatangkan hasil yang memutar roda pembayaran angsuran. Tentu, tidak mudah juga—usaha harus berjalan, hasil panen atau penjualan harus cukup untuk membayar cicilan pokok dan bunga.

Kedua, ada juga pinjaman yang tujuannya murni untuk konsumsi. Di sinilah yang sering berujung penyesalan. Bukan untuk kebutuhan mendesak, melainkan sekadar memenuhi keinginan: membeli barang-barang baru, mengejar gengsi, atau hanya agar tidak merasa kalah dengan orang lain. Padahal barang-barang itu tidak menambah pendapatan, tetapi cicilan dan bunganya terus berjalan.

Karena itu, pemahaman pada masyarakat, terutama generasi muda, tentang bagaimana membedakan kebutuhan dan keinginan menjadi sangat penting. Apalagi di zaman sekarang, godaan belanja datang dari mana-mana. Tidak sedikit orang terjebak pada gaya hidup di luar kemampuan, lalu berujung pada tumpukan hutang yang sulit dibayar.

Pinjaman pada dasarnya bukan sesuatu yang salah. Ia bisa menjadi jembatan untuk maju jika digunakan secara bijak. Tetapi jika salah arah, bisa jadi bumerang yang menjerat. Semoga iklan-iklan lelang di koran regional itu bisa menjadi pengingat kecil bagi siapa saja, agar pepatah “besar pasak daripada tiang” tidak terulang lagi di rumah kita sendiri.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN