Kota hemat

-(Sabtu, 12 Juli 2025)-

Hidup di sebuah kota dengan banyak warung nasi, di mana lauknya bisa dipilih dan dicustom sendiri sesuai isi kantong, adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Kenikmatan ini tidak hanya bisa dirasakan saat sarapan, tetapi juga ketika makan siang atau makan malam.

Maksud saya begini. Misalnya, suatu malam kita hanya ingin makan tumpang trancam atau pecel dengan lauk tempe goreng. Di kota ini, ada banyak warung yang menyediakan pilihan menu sederhana semacam itu. Kita tidak perlu repot-repot memasak sendiri di rumah, atau terpaksa membeli paket menu yang sebenarnya tidak kita suka, dengan porsi yang terlalu besar. Padahal kadang kita hanya ingin makan sedikit saja, sekadar mengisi perut agar tidak lapar.

Hidup di kota seperti ini — yang biaya hidupnya relatif murah — sejatinya memberi kesempatan bagi warganya untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung atau dialokasikan untuk kebutuhan jangka panjang. Terlebih bagi para ASN atau pegawai tetap dengan penghasilan rutin, kesempatan menabung sebenarnya terbuka lebar.

Sayangnya, tidak sedikit orang yang akhirnya terjebak pada godaan gaya hidup konsumtif. Manusia sering kali sulit menahan diri dari keinginan untuk “podo koncone” — ingin sama atau tidak mau kalah dengan orang lain. Akibatnya, muncul kebiasaan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan hanya demi gengsi. Pada akhirnya, prinsip hidup besar pasak daripada tiang justru menjadi kenyataan, meski seharusnya dihindari di zaman sekarang.

Kebebasan memilih menu sederhana di warung nasi, jika dimaknai dengan bijak, seharusnya bisa menjadi simbol pengendalian diri. Kita belajar bahwa kenikmatan hidup tidak selalu harus mahal. Makan sederhana pun bisa membuat bahagia, asalkan sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Begitulah. Di tengah himpitan biaya hidup yang makin beragam, gaya hidup sederhana adalah kemewahan yang justru sering diabaikan. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada prinsip dasar: hidup secukupnya, belanja seperlunya, dan menabung sebanyak-banyaknya. Toh, di kota seperti ini, kebebasan mengatur porsi makan adalah salah satu bentuk kebebasan mengatur porsi hidup.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN