Penikmat profesional

-(Kamis, 31 Juli 2025)-

Saya memberikan kode tangan kepada Acil itu. Dia langsung mengerti, meski dengan sedikit kaget. Seolah dia tak percaya dengan apa yang akan saya lakukan.

“Kobokan?!” kata Acil.

Saya mengangguk.

Momen itu terjadi setelah hidangan ketupat Kandangan berada di depan saya. Saya masih menunggu semua perangkat dan pelengkap makan tersedia. Soal makan, barangkali saya adalah tipikal McCall dalam film The Equalizer—semuanya harus nampak sempurna di depan saya sebelum saya mulai makan.

Sebagai penikmat ketupat Kandangan, saya tidak ingin setengah-setengah. Sebagaimana anjuran untuk kaffah dalam beragama, maka saya pun demikian dalam soal makan ketupat Kandangan.

Cara kerja menikmati hidangan ini pada dasarnya adalah dengan menyantapnya langsung menggunakan tangan. Tidak memakai bantuan sendok atau alat makan lainnya.

Bagi Anda yang baru tahu, mungkin memang terlihat aneh. Tapi selalu begitu respon manusia atas sesuatu yang baru ia ketahui. Hanya dengan pikiran terbuka, kita bisa menerima pengetahuan baru itu dengan utuh.

Sejatinya, soal cara makan ketupat Kandangan ini sudah beberapa kali saya tulis. Sebagian sebagai bentuk pamer halus kepada Anda bahwa saya bisa melakukan itu. Yang dengan demikian, saya mengklaim diri saya sebagai penikmat profesional—bukan lagi amatiran yang menggunakan bantuan sendok.

Umumnya, satu porsi ketupat Kandangan itu berisi: dua ketupat dan satu lauk. Saya tidak seperti itu. Saya meminta satu ketupat dengan lauk satu potong haruan dan telur bebek. Seiring lajunya usia, katanya kita mesti lebih banyak memakan protein dibandingkan karbohidrat.

Setelah semuanya siap, saya mulai menyantap ketupat Kandangan.

Hemmm… luar biasa. Nyaman banar, kata orang sini.

Enak banget.

Ini adalah untuk pertama kalinya saya kembali menikmati ketupat Kandangan setelah jeda dua bulan lebih—karena perjalanan ke tanah suci tempo hari.

Saya berusaha hadir sepenuhnya—baik pikiran maupun hati—untuk menikmati makanan. Apapun itu. Saya bersyukur masih diberikan kesehatan untuk menikmati hampir segala jenis makanan tanpa ada pantangan atau larangan dari dokter. Ini tentu sebuah kondisi yang pantas diberi pertanyaan reflektif:

“Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Seolah-olah, momen itu menjadi sarapan terbaik. Dan ketika ketupat itu habis di piring saya, sedikit ada rasa penyesalan: mengapa tadi hanya minta satu ketupat? Tapi begitulah manusia. Ketika merasakan satu nikmat, ia cenderung ingin lebih. Kemudian saya menyadari, keinginan itu, bila dibiarkan, akan menjadi kerakusan yang justru merusak nikmat yang telah dirasakan.

Pada saat itulah, kemampuan menahan diri dengan berpikir logis dan menggunakan akal sehat akan bisa mengalahkan dorongan nafsu.

Begitulah pagi itu—yang telah memberikan rasa, makna, dan pengingat bahwa pagi mesti selalu kita syukuri. Karena adakalanya, kita menemukan nikmat-nikmat baru yang sebelumnya tak pernah kita pikirkan.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

Pengembangan Organisasi

"Penajaman" Treasury Pada KPPN