Preferensi
- (Ditulis tanggal 4 Juni 2023) -
Bagaimanapun pilihan kita sangat tergantung pada narasi yang telah terbangun dalam pikiran kita. Dan kemudian yang kita lakukan adalah terus mencari pembenaran atas sesuatu yang telah kita pilih itu. Pilihan itu lalu menetap dan kokoh tak tergoyahkan oleh apapun yang meski selalu datang menyerang. Bahkan, kebenaran fakta dan data pun tak akan sanggup mengubahnya. Apalagi, jika preferensi itu dilandasi oleh ketidaksukaan pada pilihan lainnya.
Seperti preferensi saya tentang kursi di pesawat. Pilihan pertama saya adalah kursi lorong. Narasi yang terbangun atas pilihan lorong ini tentu saja didasarkan pertimbangan dan pengalaman. Kursi lorong memudahkan saya untuk ke toilet tanpa mengganggu orang lain. Berada di kursi lorong juga membuat saya lebih cepat turun dari pesawat, apalagi jika posisinya di depan. Pengalaman juga kerap mengajarkan kelemahan atau kesulitan ketika saya duduk di kursi jendela. Memang, sebagian orang memilih kursi jendela agar bisa menikmati pemandangan. Bagi saya, masa-masa itu sudah lewat. Sekarang, setelah duduk tenang di kursi saya memilih untuk terlelap. Atau corat-coret kata-kata di HP. Yang mode HP itu sudah saya ubah menjadi mode pesawat.
Maka, ketika hari itu saya tidak bisa memilih kursi lorong, rasanya sungguh kecewa. Benar-benar pilihannya hanya satu kursi dan di tengah. Kalau misalnya pilihannya jendela, masih mendingan. Tapi apa boleh buat, dengan terpaksa saya lanjutkan proses cek in.
Tibalah saya di bandara. Upaya untuk mendapatkan kursi lorong masih bergemuruh. Setelah cetak mandiri boarding pass, saya hampiri counter lapor tiket yang sepi. Saya minta ke petugas untuk pindah kursi lorong. Dia bilang yang ada tinggal jendela. Ya sudah, gapapa. Akhirnya saya dapat kursi jendela. Yang tentu nomor kursinya berubah dari kursi 34B ke 25F.
Pengumuman boarding terdengar. Saya bergegas antri. Pemandangan ini yang kini sering terlihat. Ada dua antrian proses pengecekan boarding pass. Yang satu antrian pakai cetakan kertas dan satunya lagi langsung menunjukkan barcode boarding pass dari HP. Premis bahwa teknologi itu bisa mempercepat satu proses, kadang meleset. Yang antrian kertas lebih sat set. Yang pakai HP, berjalan dengan kecepatan setengahnya antrian kertas.
Saya masuk pesawat dan menuju jatah kursi saya yang di jendela itu. Setelah menaruh tas di kabin, saya lihat kursi saya sudah diduduki seorang pria. Di sebelahnya, seorang wanita. Dugaan saya mereka suami istri. Maka, tinggal kursi lorong. Dan saya ikhlas duduk di kursi lorong itu. Tanpa perlu bertanya kepada dua orang itu. Yang mungkin keliru menentukan mana kursi C dan D milik mereka.
Tentu saja saya senang. Saya mendapatkan kursi yang sesuai dengan keinginan saya.
Begitulah. Mungkin benar. Ketika kita sudah menentukan pilihan dan membangun narasi tentang sesuatu yang kita inginkan, apakah itu visi atau cita-cita, maka barangkali alam bawah sadar akan menuntun langkah-langkah kita mengarah ke tujuan itu.