Halaman Rumput

  - (Ditulis tanggal 17 Mei 2023) -


Bagi orang yang berusaha mengamalkan 7-kebiasaan-efektif-nya Steven Covey, memperkaya pengetahuan dan perspektif adalah hal yang mutlak. Ini juga menjadi bagian dari kebiasaan yang ketujuh: mengasah gergaji. Yang gergaji itu bisa berarti kompetensi, kemampuan, pengetahuan, skill baik hard maupun soft.
Cara yang paling gampang adalah membaca buku. Meski bagi sebagian orang, ternyata bukan hal mudah. Tidak hobi. Itu alasannya.
Cara yang lain adalah belajar dari youtube. Ada banyak video-video seminar, diskusi, dialog dan juga resume buku. Malah ada juga yang membacakan buku.
Dari membaca buku, kerap kita menemukan hal-hal baru dan menarik, baik itu informasi, pengetahuan, sejarah, sudut pandang. Dan sudah barang tentu meluaskan cakrawala. Atas segala sesuatu.
Seperti tentang halaman rumput. Yang saya dapati dari buku Homodeus-nya Harari.
Sebelumnya, entah berapa kali saya mendapati tulisan: "Jangan injak rumput". Biasanya itu di taman-taman, di halaman gedung kantor atau tempat lainnya. Sering juga kita melihat rumah megah yang di depannya, kanan kirinya, ada halaman rumput. Kenapa orang-orang modern suka dengan halaman rumput? Ternyata ada sejarahnya.
Semua berawal dari ulah aristokrat Perancis dan Inggris di sekitar abad pertengahan, yang ingin menunjukkan kekayaan dan kebangsawananya.
Halaman rumput kemudian menjadi simbol kekayaan seseorang. Semakin luas halaman rumput, semakin banyak hartanya. Seolah ingin berkata: "Lihat itu tanah berhektar-hektar cuman saya tanami rumput." Halaman rumput tak menghasilkan panen apa pun, selain rumput. Buat menggembala ternak pun tidak.
Halaman rumput yang luas, tentu memerlukan biaya perawatan yang tidak sedikit. Selain air, juga perlu dipotong dengan mesin potong rumput secara berkala. Dan itu perlu tukang kebun.
Pun halaman rumput jarang digunakan. Sesekali saja untuk pesta ulang tahun. Artinya, halaman rumput itu dipelihara sekedar untuk memanjakan mata. Dan sebagai simbol.
Faktanya, simbol kekayaan itu mentradisi hingga kini. Betapapun dulu istana-istana itu pernah dikudeta, tetapi halaman rumput tetap diabadikan sampai sekarang. Alhasil, warisan simbol itu telah menjadi bagian dari peradaban manusia.
Begitulah. Tentang halaman rumput itu. Jika kita saat ini seperti terhipnotis dengan simbol itu dan terus mewarisinya, hal itu bisa dimaklumi. Karena memang setiap orang lahir dan besar selalu diwarnai latar belakang keluarga, pendidikan, dan tradisi di lingkungannya. Dengan mengetahui sejarah, kita kemudian bisa membuat pilihan sendiri, apakah kita akan terus memelihara simbol itu, ataukah kita bisa memilih untuk menghentikannya. Bahkan mengubahnya.
Tentu, itu tak hanya berlaku pada halaman rumput. Tradisi, simbol, kebiasaan, budaya, yang berlaku di lingkungan kita memiliki sejarahnya masing-masing. Mempelajari dan mengetahuinya akan membuat kita merasa lega. Seolah lepas dari himpitan ketidaktahuan, yang selama ini seolah kita dipaksa keadaan.
Pada akhirnya, semua kembali pada pilihan kita masing-masing. Tentu, dengan gambaran dan visi yang lebih jelas.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi