Supeltas

 --- (Ditulis tanggal 20 Juni 2020) ---

Pernahkah Anda menghitung jumlah persimpangan jalan tanpa lampu merah yang Anda lewati dari rumah ke tempat kerja? Lalu apa yang Anda lihat di persimpangan jalan itu?
Saya iseng melakukan ini. Mencoba menghitung jumlah persimpangan jalan di kota ini yang tanpa lampu pengatur lalu lintas. Tetapi bukan semua persimpangan. Lebih khusus pada persimpangan jalan yang di situ ada saudara-saudara kita yang secara sukarela mengatur lalu lintas kendaraan. Ada sebagian orang menjuluki mereka: supeltas atau sukarelawan pengatur lalu lintas. Yang kemudian karena jasa mereka ini, mendorong pengemudi kendaraan untuk mengulurkan beberapa receh atau selembar uang kepada mereka.
Di beberapa tempat saya perhatikan: pada jam yang sama dengan orang yang sama. Pada jam yang lain, dengan orang yang berbeda. Artinya ada sistem shift disana. Ada juga persimpangan yang tidak bertuan, sehingga siapa pun bisa mendedikasikan diri untuk mengatur arus lalu lintas.
Saya berpikir, ternyata persimpangan jalan atau lokasi putar haluan kendaraan itu telah mampu menciptakan lapangan kerja. Dan saya kira jumlahnya puluhan, malah bisa jadi ratusan untuk ukuran kota ini. Karena dalam perjalanan 15 menit itu saya sudah mendapati 7 lokasi dengan sukarelawan pengatur lalin.
Namun, yang mengkhawatirkan adalah kesantaian mereka saat pandemi ini. Setidaknya atas apa yang saya lihat. Sebenarnya mereka mengenakan masker, tapi nampaknya sekedar kepantasan saja, bahkan hanya menggantung atau menempel di dagu dan tidak menutupi mulut dan hidung. Mungkin karena mereka mesti meniup peluit sehingga akan merepotkan jika memakai masker. Apalagi cuci tangan. Sulit membayangkan mereka setelah menerima uang dari pengendara kendaraan lalu cuci tangan atau memakai hand sanitizer. Sehingga, ketika tangan saya tak sengaja menyentuh tangan mereka saat mengulurkan uang, saya buru-buru meratakan hand sanitizer ke tangan saya.
Barangkali saya berlebihan atau paranoid dengan Covid-19 ini. Sehingga mindset saya, disaat pandemi ini mestinya orang lain juga melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan. Itulah yang menyebabkan saya merasa khawatir dengan para sukarelawan itu dan semacamnya.
Kadang saya penasaran dengan nasib orang-orang itu yang secara teknis tak peduli dengan protokol kesehatan. Namun, faktanya sampai dengan hari ini saya masih melihat mereka segar bugar, bahkan bertegur sapa dan tersenyum, yang artinya orang itu tak memakai masker.
Saya lantas berpikir, bagaimana mungkin mereka masih nampak sehat begitu? Apakah korona takut dengan mereka ini? Atau apakah karena mereka sudah kebal? Sebab selama ini mereka sudah biasa menghirup asap kendaraan, sehingga korona tak lagi mempan. Atau sedemikian ampuhnya doa mereka sehingga selalu mendapat penjagaan dari Tuhan? Allohu'alam.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi