Filsafat Kebahagiaan

Setelah 5 tahun lebih, akhirnya saya berhasil merampungkan buku Dunia Sophie. Tepatnya di bulan ramadhan lalu. Sebuah prestasi yang buruk untuk seorang yang mengaku memiliki hobi membaca dan menulis.

Membaca buku ini atau tepatnya novel Dunia Sophie juga mengindikasikan betapa awamnya si pembaca tentang dunia filsafat. Termasuk diri saya. Yang memang niat membaca novel ini adalah untuk menambah wawasan tentang sejarah filsafat, tentang pemikiran-pemikiran para filosof mulai dari jaman Yunani hingga abad 20.
Dari novel ini, setidaknya saya semakin menyadari betapa pemikiran atau perspektif manusia ini terus berkembang seiring jaman, penemuan teknologi dan hasil penelitian manusia. Ini juga menunjukkan betapa luar biasanya evolusi pemikiran manusia dalam perjuangannya mempertahankan eksistensi dan mencapai kebahagiaan.
Pada akhirnya, apapun itu bermuara pada dua hal: eksistensi dan kebahagiaan. Termasuk dalam bekerja pada suatu komunitas atau organisasi.
Pada sebagian besar manusia, dua hal ini saling terkait. Pengakuan membuat seseorang menjadi bahagia. Keberadaannya dalam sebuah organisasi yang memiliki arti penting dan dihargai, merupakan sumber rasa bahagia, yang juga merupakan kebutuhan manusia.
Sebaliknya rasa bahagia menjadikan manusia bekerja lebih bersemangat dan berkontribusi, dimana ini sebagai bentuk eksistensi.
Dari beberapa pelajaran filsafat di buku Dunia Sophie, sebagian orang mungkin akan lebih memahami, ternyata kebahagiaan juga sangat dipengaruhi oleh sudut pandang manusia sendiri. Seperti filsafat stoikisme. Yang mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan saja. Sesuatu yang berada diluar kendali, tak perlu terus dipikirkan karena semakin menambah stres. Artinya kita bisa memilih respon kita sendiri terhadap sesuatu yang menimpa diri kita. Ada gap antara stimulus dan respon. Dan kita bisa menggunakan gap atau ruang itu untuk memilih respon kita sendiri, apakah sakit hati atau biasa saja? Apakah sedih atau bahagia? Apakah marah atau tetap tenang saja?
Inilah yang oleh Steven R Covey disebut proaktif, dalam bukunya yang berjudul "7 kebiasaan yang sangat efektif" itu. Yang belakangan saya baru menyadari referensi yang digunakan Steven itu tidak lain adalah filosofi stoikisme.
Maka sebenarnya, ujung dari coretan ini adalah saya merekomendasikan bagi Anda untuk membaca 2 buku itu: Dunia Sophie dan Tujuh Kebiasaan Yang Sangat Efektif. Terutama buku 7 kebiasaan ini. Yang saya membayangkan, seandainya semua atau sebagian besar orang dalam komunitas atau organisasi itu mampu memiliki 7 kebiasaan itu, apapun keinginan atau visi organisasi, ibaratnya sekali kedip, pasti terwujud.
Dan 7 kebiasaan itu adalah: Jadilah Proaktif; Mulailah dari Akhir dalam Pikiran; Dahulukan yang Utama; Berpikir Menang-Menang; Berusahalah untuk mengerti orang lain dahulu, baru kemudian dimengerti; Sinergi; Asahlah gergaji.
Lantas, bagaimana agar semua orang mampu menerapkan 7 kebiasaan itu?

*) Ditulis tanggal 22 Mei 2022

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi