Urgensi Penyusunan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Dimuat di https://www.suaramerdeka.com/ pada link: https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04506095/urgensi-penyusunan-uu-hubungan-keuangan-pusat-dan-daerah?page=all (Jumat, 30 Juli 2021)

--------------------------------------------------------------------------------

SEBAGAI bagian dari APBN, Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) terus dioptimalkan pemerintah. Dari tahun ke tahun porsi TKDD menunjukan tren peningkatan.

Jika dibandingkan dengan penerimaan negara, meliputi penerimaan pajak dan PNBP, berdasarkan data Kemenkeu, tahun 2021 porsi TKDD mencapai 45,6 persen, padahal pada tahun 2001 porsinya hanya 31 persen.

Atau dana yang kembali ke daerah melalui TKDD dari pajak dan PNBP, dalam dua dekade rata-rata 36,8 persen.

Dilihat dari pertumbuhannya, porsi TKDD terhadap penerimaan negara tumbuh positif rata-rata 0,73 persen per tahun.

Angka-angka ini menunjukan bahwa dukungan pemerintah pusat kepada daerah terus meningkat sebagai upaya memperkuat layanan publik di setiap daerah.

Selain mengandalkan TKDD, kekuatan pemerintah daerah dalam membangun juga bertumpu pada pajak daerah dan retribuasi daerah.

Dilihat angkanya, perpajakan daerah mengalami perbaikan tetapi tidak signifikan. Rasio perpajakan daerah (local taxing ratio) masih relatif rendah.

Tahun 2019, rasio Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap PDRB sebesar 1,42 persen, naik jika dibanding rasio pada tahun 2016 yang sebesar 1,35 persen.

Hanya saja, karena pandemic, pada tahun 2020 rasionya turun hingga 1,20 persen. Untuk itu, perpajakan daerah perlu dilakukan penguatan, dengan tetap memperhatikan iklim usaha yang kondusif.

Di samping itu, selama ini perpajakan daerah menghadapi tantangan, antara lain: jumlah jenis pajak daerah (16 jenis) dan retribusi daerah (32 jenis) relatif banyak serta administrasi dan pengawasan pemungutan yang masih lemah.

Berdasarkan perkembangan indeks ketimpangan antar wilayah, tahun 2020 untuk indeks Theil dan indeks Williamson, menunjukkan angka 0.23 dan 0.53.

Angka ini turun dibandingkan dengan indeks pada tahun 2016, yaitu 0.332 dan 0.725.

Artinya: TKDD telah berhasil mengurangi ketimpangan pendanaan antar-daerah, sehingga setiap daerah memiliki kesempatan yang relatif sama untuk meningkatkan pelayanan dan membangun daerahnya.

 

Kondisi Saat Ini

Faktanya, dari tahun ke tahun TKDD naik secara signifikan dan pemerataan kemampuan keuangan pada setiap daerah semakin membaik.

Hanya saja, terdapat beberapa kondisi yang belum sesuai harapan. Pertama, masih ada ketimpangan output dan outcome pembangunan antar Daerah.

Beberapa daerah memiliki kinerja sangat tinggi, tetapi ada daerah-daerah yang masih tertinggal.

Berdasarkan data BPS (2020), angka partisipasi murni (APM) SMP/SMA tertinggi dicapai oleh Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut sebesar 90,38%, disusul Kota Metro (88,26 persen).

Adapun capaian terendah berada di Kabupaten Intan Jaya sebesar 13,34% dan Kabupaten Sintang (49,71persen).

Untuk air minum layak, data tahun 2019 menunjukan capaian tertinggi dengan angka 100 persen berada di 7 pemda, antara lain: Kota Magelang, Kota Tegal dan Kab Klaten.

Sementara itu capaian terendah terdapat di Kabupaten Lanny Jaya sebesar 1,06% dan Mamasa (22,91 persen).

Pada program imunisasi lengkap (BCG, DPT, Polio dan Campak), capaian tertinggi diraih Kota Madiun sebesar 82,95 persen dan Kabupaten Gianyar (79,58 persen), sedangkan terendah berada di Kabupaten Aceh Timur sebesar 5,22% dan Aceh Utara (5,46 persen).

Ketimpangan juga terlihat pada capaian indikator makro ekonomi, terutama IPM dan angka kemiskinan.

Data BPS (2020) menunjukkan IPM tertinggi di Indonesia diraih oleh Kota Yogyakarta sebesar 86,61 disusul Kota Banda Aceh sebesar 85,41. Adapun IPM terendah terdapat di Kabupaten Nduga sebesar 31,55 dan Sabu Raijua (57,02).

Untuk persentase penduduk miskin, capaian tertinggi dalam penurunan angka kemiskinan diraih oleh Kota Tangerang Selatan (1,68 persen) dan Kabupaten Badung (1,78 persen), sedangkan capaian terendah terdapat di Kabupaten Deiyai sebesar 41,76 persen dan Sumba Tengah (34,49 persen).

Kondisi kedua, pemanfaatan TKDD belum optimal dengan pola belanja daerah yang didominasi oleh belanja aparatur. Belanja pegawai sebagai alokasi dasar dalam formula DAU, justru mendorong peningkatan jumlah pegawai Daerah.

Hal ini tidak sejalan dengan esensi DAU sebagai alat ekualisasi kemampuan keuangan, yang seharusnya berujung pada ekualisasi layanan publik.

Di samping itu, Pemerintah Daerah masih mengandalkan DAK Fisik sebagai sumber utama belanja modal, padahal DAK pada esensinya adalah skema penunjang.

Ketiga, belanja pegawai relatif tinggi, sehingga menggerus porsi untuk belanja publik yang produktif. Data tahun 2019, belanja pegawai mencapai Rp 385 Triliun atau 32,4 persen dari total belanja APBD.

Pada tingkat provinsi, rata-rata porsi belanja pegawai sebesar 27,6 persen, dimana 20 pemprov di atas rata-rata dan tertinggi sebesar 35,51 persen berada di Babel.

Untuk tingkat kabupaten, rata-rata porsi belanja pegawai mencapai 35,3 persen, dengan 226 pemda memiliki porsi belanja pegawai diatas rata-rata.

Porsi tertinggi terdapat di Kabupaten Bangkalan sebesar 50,58 persen. Adapun pada tingkat kota, rata-rata porsi belanja pegawai sebesar 35,7 persen, di mana 42 pemkot berada diatas rata-rata, dengan porsi tertinggi sebesar 47,63 persen terdapat di Kota Pematang Siantar.

Selain itu, standar tunjangan kinerja dan honorarium sangat bervariasi dan cenderung lebih tinggi dari standar pusat, sehingga belanja menjadi tidak efisien dan tidak produktif.

Keempat, belanja infrastruktur publik masih rendah, sehingga belum memadai untuk mengungkit perbaikan layanan dan pertumbuhan ekonomi.

Data tahun 2019, secara nasional, rata-rata belanja infrastruktur publik mencapai Rp137,3 Triliun atau 11,5 persen dari APBD.

Di tingkat provinsi, rata-rata porsi belanja infrastruktur layanan publik sebesar 11 persen, di mana terdapat 19 pemda dibawah rata-rata, dengan angka terendah sebesar 3,19 persen berada di Jawa Timur.

Di tingkat kota, rata-rata porsinya sebesar 13,4 persen, dengan 46 pemkot dibawah rata-rata, dimana porsi terkecil yaitu 4,40% terdapat di Kota Cirebon.

Untuk tingkat kabupaten, rata-rata porsinya sebesar 13,7 persen, dan 230 pemkab berada di bawah rata-rata, serta porsi terendah di Kabupaten Lampung Utara sebesar 4,32 persen.

Dengan data-data tersebut, menunjukan bahwa porsi belanja infrastruktur belum memadai dalam mendukung upaya perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana layanan umum, serta mendorong perekonomian daerah untuk mencapai potensi terbaiknya.

Kondisi kelima, yaitu jumlah jenis program dan kegiatan terlalu banyak, sehingga belanja APBD tidak fokus dan kurang efektif dalam membenahi pelayanan dan pembangunan di daerah.

Data tahun 2019 menunjukan jumlah jenis program mencapai 29.623 program, sedangkan jumlah jenis kegiatan mencapai 263.135 kegiatan.

Untuk jenis program, rerata di tingkat provinsi berjumlah 207, tingkat kabupaten 157 dan tingkat kota 154.

Untuk jenis kegiatan, rata-rata di tingkat provinsi sebanyak 1.361, di tingkat kabupaten sebanyak 726 dan di tingkat kota sebanyak 875.

Banyaknya variasi jenis program dan kegiatan telah menyebabkan sulitnya sinkronisasi pembangunan di daerah, antardaerah, serta antara pusat dan daerah.

Keenam, lambatnya realisasi belanja daerah, sehingga dana idle pemda di perbankan relatif besar.

Merujuk data Kemenkeu, pada bulan Mei 2021, posisi simpanan pemda sebesar Rp172,55 triliun.

Atau terdapat kenaikan sebesar Rp6,96 triliun (4,20 persen) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Rata-rata saldo akhir tahun selama tiga tahun terakhir sebesar Rp96 triliun. Simpanan tertinggi berada di Provinsi Jawa Timur dan terendah berada di Sulawesi Barat.

Kondisi berikutnya adalah pemerintah daerah belum melakukan optimalisasi akses pembiayaan alternatif untuk mendanai kebutuhan pembangunan daerah.

Diperkirakan kebutuhan pembiayaan infrastruktur 2020 – 2024 mencapai Rp6.421 Triliun. Sementara APBN dan APBD hanya mampu menyediakan sekitar 30 persen dari kebutuhan dana.

Selama ini, masih banyak Pemda menggantungkan sumber pendanaan dari APBN, karena tidak ada kewajiban pengembalian dana.

Data tahun 2018 menunjukan total pinjaman daerah di Indonesia sangat rendah yaitu 0.049 persen dari PDB.

Untuk membantu mendanai kebutuhan pembangunan di daerah, maka diperlukan pengaturan pembiayaan daerah yang inovatif dan accessible, dengan tetap prudent dan sustainable.

Kedelapan, dari segi administratif, akuntabilitas dalam pengelolaan APBD sudah membaik, tetapi masih perlu diperkuat pada aspek materiil.

Seperti dalam penyampaian Perda APBD pada tiga tahun terakhir (2018-2020), 100% pemda telah tepat waktu.

Di sisi lain, jumlah temuan hasil pemeriksaan BPK masih menunjukkan tren yang relatif tinggi. Tahun 2017-2019, temuan audit BPK berturut-turut sebanyak 7,913, 6.259 dan 5.324, dengan nilai sebesar Rp2,55 triliun, Rp2,19 triliun dan Rp1,53 triliun.

Oleh karena itu, akuntabilitas tata kelola APBD perlu untuk terus diperbaiki, baik dari aspek kebijakan, SDM maupun pengawasan.

Kondisi terakhir yaitu sinergi dan harmonisasi gerak langkah APBN dan APBD belum optimal.

Sebagai contoh: pada masa pandemic tahun 2020, kebijakan countercyclical belum berjalan optimal di daerah, ditandai realisasi belanja penanganan Covid-19 belum sesuai target (kesehatan 66,4%, perlinsos 67,6%, pemulihan ekonomi 53,3%).

Selain itu, beberapa program prioritas mengalami kendala karena belum terlalu didukung Pemda dalam merealisasikan kegiatan pendukungnya.

Pada upaya penguatan UMKM yang didesain oleh Pemerintah, seperti melalui KUR dan UMi, belum secara optimal diadopsi oleh pemda dalam program kewirausahaan di daerah.

Untuk itu, sinergi antara APBN dan APBD perlu untuk diperkuat melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah.

Hal ini sebagai upaya gotong-royong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

 

RUU Hubungan Keuangan Pusat Daerah

Selama ini dalam kaitannya dengan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, kita telah memiliki dasar hukum antara lain UU nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU nomor 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Seiring berjalannya waktu dan dinamika desentralisasi fiskal, kita menghadapi tantangan-tantangan dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah.

Berangkat dari beberapa kondisi di atas dan agar upaya perbaikan yang dilakukan memiliki landasan hukum yang kuat serta memperoleh dukungan penuh, maka kemudian muncul pemikiran untuk melakukan penyusunan undang-undang tentang hubungan keuangan pusat dan daerah (HKPD).

Dengan kata lain, poin-poin di atas merupakan urgensi perlunya penyusunan UU HKPD melalui integrasi revisi UU nomor 33/2004 dan UU nomor 28/2009.

Seperti kata-kata Stephen R Covey pada pembuka tulisan ini dan agar terjadi perubahan besar yang diinginkan, RUU HKPD didasarkan pada empat paradigma atau yang dikenal sebagai empat pilar.

Paradigma atau pilar tersebut merupakan hasil rumusan atas kondisi pelaksanaan desentralisasi fiskal selama ini.

Keempat pilar tersebut, yaitu ketimpangan vertikal dan horisontal yang menurun; harmonisasi belanja pusat dan daerah; peningkatan kualitas belanja daerah; dan penguatan local taxing power.

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia diantaranya adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, sudah barang tentu RUU yang nantinya ditetapkan menjadi UU HKPD, diharapkan menjadi alat bagaimana mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien dan efektif melalui HKPD yang transparan, akuntabel dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok NKRI.

***


Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi