Penyaluran BLT Desa Dibandingkan dengan Angka Kemiskinan

Dimuat di https://djpb.kemenkeu.go.id/ pada link: https://djpb.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/lainnya/opini/3861-penyaluran-blt-desa-dibandingkan-dengan-angka-kemiskinan.html (10 Maret 2022)

----------------------------------------------------------------

Berdasarkan rilis dari Badan Pusat Statistik Jawa tengah, jumlah penduduk miskin perdesaan di Jawa Tengah pada bulan September 2021 turun sebanyak 114,51 ribu orang jika dibandingkan pada Maret 2021, yaitu dari 2,20 juta orang menjadi 2,09 juta orang. Secara persentase, jumlah penduduk miskin perdesaan turun dari 13,07% menjadi 12,44%.

Di tengah terpaan wabah Covid-19, capaian ini tentu sangat menggembirakan. Penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan itu mengindikasikan bahwa berbagai upaya pemerintah melalui kebijakan fiskal, di antaranya jaring pengaman sosial mampu menekan angka kemiskinan. Salah satu jaring pengaman sosial yang menyentuh masyarakat perdesaan secara langsung adalah bantuan langsung tunai desa (BLT desa).

Melanjutkan program pemberian BLT desa dua tahun sebelumnya, pada tahun 2022 pemerintah lebih menekankan lagi penggunaan dana desa untuk BLT desa dengan menetapkan persentase minimal BLT desa dari alokasi dana desa. Ini berbeda dengan penggunaan dana desa tahun sebelumnya. Sesuai Peraturan Presiden nomor 104 tahun 2021 tentang Rincian APBN tahun anggaran 2022, dana desa ditentukan penggunaannya untuk program perlindungan sosial berupa BLT desa paling sedikit 40%, program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%, dukungan pendanaan penanganan Covid-19 paling sedikit 8%, dan program sektor prioritas lainnya. Persentase penggunaan tersebut dihitung dari alokasi dana desa setiap desa.

Penentuan porsi penggunaan dana desa tersebut ini ternyata mendapatkan resistensi dari pihak pemerintah desa. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, disampaikan pula keberatan dari pihak pemda, khususnya terkait porsi BLT desa tersebut. Benarkah pemerintah desa akan kesulitan melaksanakan kebijakan BLT desa minimal 40%?

Untuk melihat persoalan BLT desa secara lebih komprehensif, mari kita lihat data sampling penyaluran BLT desa di Jawa Tengah.

 

Penyaluran BLT Desa di Jawa Tengah Tahun 2020 dan 2021

Berdasarkan data OMSPAN Kanwil DJPb Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2020, secara keseluruhan penyaluran dana desa dari KPPN ke rekening kas desa untuk BLT desa di Jawa Tengah sebesar Rp3,24 triliun atau 39,95% dari pagu dana desa yang sebesar Rp8,12 triliun. Jika dirinci, dari 29 kabupaten di Jawa Tengah yang menyalurkan dana desa diperoleh data yaitu terdapat 16 kabupaten dengan porsi BLT mencapai 40% atau lebih 40%, yang dihitung dari alokasi dana desa per kabupaten, serta 13 kabupaten menyalurkan BLT desa dengan porsi kurang dari 40%. Porsi BLT desa terbesar mencapai 59,33% dan 56,46%, sedangkan terkecil sebesar 17,86% dan 22,05%.

Sedangkan pada tahun 2021, secara keseluruhan BLT desa di Jawa Tengah sebesar Rp2,05 triliun atau 25,15% dari pagu dana desa sebesar Rp8,16 triliun. Nominal dan porsi BLT desa tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Porsi BLT desa sebesar 40% atau lebih hanya terdapat pada 4 kabupaten, sedangkan 25 kabupaten memiliki porsi BLT dibawah 40%. Porsi BLT desa terbesar mencapai 51,38%, urutan berikutnya 46,08% dan 40,52%. Sedangkan porsi terkecil 5,42% dan 9,60%.

Jika dihitung selisih porsi BLT tahun 2021 dan 2020, penurunan porsi BLT di atas 20 poin terjadi pada 10 kabupaten, dengan penurunan tertinggi mencapai 32,27 poin, yakni dari 42,37% (2020) menjadi 10,10% (2021). Urutan berikutnya turun 30,48 poin (dari 46,43% menjadi 15,95%) dan turun 27,60 poin (dari 38,20% menjadi 10,60%). Penurunan terkecil sebesar 5,08 poin (dari 56,46% menjadi 51,38%) dan 5,48 poin (dari 37,88% menjadi 32,39%).

Secara nominal, growth penyaluran BLT desa di Jawa Tengah tahun 2021 mengalami penurunan 36,74% dari total penyaluran BLT desa tahun 2020. Penurunan tertinggi mencapai 81,84%  disusul 76,16% dan 72,24%. Penurunan terendah sebesar 6,94%, lalu 13,40% dan 14,48%. Meskipun secara umum mengalami penurunan, namun terdapat 4 kabupaten yang penyaluran BLT desa tahun 2021 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, dengan variasi kenaikan yaitu 22,24%, 11,07%, 4,01% dan 1,37%.

Berdasarkan hasil pendataan, penurunan nominal dan porsi BLT desa tahun 2021 di wilayah Jawa Tengah disebabkan antara lain: sebagian penerima BLT desa tahun 2020 menerima bansos lainnya; penerima BLT desa sebelumnya sudah tidak memenuhi kriteria; terdapat penerima yang pindah domisili dan/atau meninggal; terdapat penerima yang mengundurkan diri/menolak menerima bantuan karena sudah menganggap dirinya mampu; dan terdapat desa yang tetap memprioritaskan penggunaan dana desa tidak hanya untuk BLT tetapi untuk pembangunan dan pemberdayaan desa.

 

Angka Kemiskinan dan Penyaluran BLT Desa

Pemberian BLT desa semestinya berhubungan langsung dengan angka kemiskinan. Semakin banyak penduduk miskin, idealnya semakin besar pula porsi BLT desa. Jika dilihat dari angka kemiskinan dan data penyaluran BLT desa tahun 2021, ditunjukkan bahwa terdapat kabupaten dengan persentase penduduk miskin yang besar, ternyata porsi BLT desa tahun 2021 hanya 10,60%, turun dari tahun 2020 (38,20%). Bahkan, ada kabupaten yang porsi BLT desa hanya sekitar 5%, padahal di daerah tersebut memiliki angka kemiskinan relatif tinggi di Jawa Tengah. Sebaliknya, terdapat kabupaten dengan persentase penduduk miskin yang relatif rendah, namun mengalokasikan BLT desa tahun 2021 mencapai 51,38% dari alokasi dana desa.

Mencermati kondisi tersebut serta berdasarkan perbandingan antara angka kemiskinan (Maret 2021) dan data penyaluran BLT desa tahun 2021, dapat beberapa hal yang dapat disimpulkan.

Pertama, sebaran porsi BLT desa antar kabupaten dibandingkan dengan sebaran angka kemiskinan antar kabupaten tidak atau belum menunjukkan satu pola yang sama. Tingginya angka persentase jumlah penduduk miskin tidak selalu diikuti dengan porsi BLT yang tinggi pula. Untuk memperkuat hal ini, kita bisa membandingkan antara jumlah penduduk miskin dengan nilai penyaluran BLT Desa antar kabupaten. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa pola urutan jumlah penduduk miskin per kabupaten dari besar ke kecil, ternyata tidak diikuti dengan pola yang sama pada nominal penyaluran BLT Desa per kabupaten. Artinya, pada pola jumlah penduduk miskin yang makin menurun, pola nilai BLT Desa berfluktuatif. Hal ini terjadi karena pada tahun 2021 belum terdapat kebijakan penetapan porsi BLT Desa.

Grafik Jumlah Penduduk Miskin dan Nominal Salur Dana Desa

Kedua, meskipun telah ditetapkan kriteria penerima BLT desa, dengan membandingkan antara angka kemiskinan dan porsi BLT menunjukkan bahwa antar daerah memiliki persepsi dan penentuan yang berbeda dalam kriteria penerima BLT desa. Besar kemungkinan, terdapat orang dengan kondisi yang sama, di daerah A menerima BLT, tetapi di daerah B tidak menerima BLT.

Ketiga, porsi BLT yang tidak sama antar kabupaten mengindikasikan adanya ketidakseragaman dalam implementasi kebijakan prioritas dana desa untuk BLT desa sehingga dampak yang diharapkan dari kebijakan BLT desa berbeda antar daerah.

Keempat, dengan melakukan komparasi antar daerah, dapat disimpulkan bahwa bila satu daerah mampu menyalurkan BLT desa dengan porsi 40% atau lebih, maka di daerah lain dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi semestinya juga mampu mengalokasikan BLT desa dengan porsi yang tidak jauh berbeda.

Kelima, untuk melaksanakan kebijakan BLT desa tahun 2022 sebesar 40%, beberapa daerah dapat menggunakan pengalaman pada tahun 2020 terkait penerima BLT desa. Karena, jika dilihat datanya, pada tahun 2020 beberapa daerah memiliki porsi BLT desa sebesar 40% atau lebih. Selain itu, pemda dan pemerintah desa dapat melakukan benchmark pada pemda lain terkait penetapan penerima BLT desa dan alokasi BLT desa, khususnya pada pemda dan pemerintah desa yang tahun 2021 sudah mengalokasikan BLT desa sebesar 40% atau lebih.

Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa, pada tahun 2022 terdapat perluasan kriteria penerima manfaat BLT desa. Dalam hal ini, pemerintah desa agar menggunakan kriteria penerima BLT desa tersebut, yaitu: (1) keluarga miskin atau tidak mampu yang berdomisili di Desa bersangkutan dan diprioritaskan untuk keluarga miskin yang termasuk dalam kategori kemiskinan ekstrem; (2) kehilangan mata pencaharian; (3) mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis; (4) keluarga miskin penerima jaring pengaman sosial lainnya yang terhenti baik yang bersumber dari APBD dan/atau dari APBN;  (5) keluarga miskin yang terdampak pandemi Covid-19 dan belum menerima bantuan; atau (6) rumah tangga dengan anggota rumah tangga tunggal lanjut usia. Selain itu, apabila keluarga penerima manfaat BLT desa merupakan petani, BLT desa dapat digunakan untuk kebutuhan pembelian pupuk.

 

Rekomendasi

Kebijakan penetapan persentase penggunaan BLT desa paling sedikit 40% dari alokasi dana desa per desa memiliki tujuan agar tidak terjadi ketimpangan dalam program penanganan kemiskinan antar daerah. Bagi daerah atau desa yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi, kebijakan ini memberikan keleluasaan untuk memprioritaskan penanganan kemiskinan melalui pemberian BLT desa.

Sementara itu, bagi desa yang sudah maju dengan angka kemiskinan minim, tentu akan kesulitan memenuhi ketentuan BLT desa minimal 40%. Apakah kemudian, selisih alokasi BLT desa tersebut akan dialihkan ke tempat lain? Inilah yang menjadi isu sensitif bagi pemerintah desa dan perlu disikapi dengan hati-hati dan kebijakan yang tepat.

Sesuai pasal 6 PMK nomor 190/PMK.07/2021, bahwa rincian dana desa setiap desa dialokasikan secara merata dan berkeadilan berdasarkan: alokasi dasar; alokasi afirmasi; alokasi kinerja; dan alokasi formula. Dengan kata lain, alokasi dana desa telah dibagi kepada setiap desa dengan perhitungan berdasarkan data-data setiap desa, meliputi: jumlah penduduk, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, tingkat kesulitan geografis, dan kinerja desa.

Mengingat alokasi dana desa ditetapkan per desa, bukan alokasi per kecamatan atau per kabupaten, maka merelokasi pagu dana desa akan memiliki potensi menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk itu, bagi desa-desa yang alokasi BLT desa sudah mentok dibawah 40% (misalnya 30%), maka selisihnya (dalam contoh ini sebesar 10%) digunakan untuk kegiatan varian BLT desa pada desa tersebut. Kegiatan varian BLT desa dapat berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat desa khusus penerima BLT desa yang bertujuan untuk mengangkat keluarga penerima tersebut dari status miskin sehingga pada periode mendatang tidak lagi berhak menerima BLT desa. Atau kegiatan varian BLT desa berupa pembangunan rumah layak huni atau pembuatan jamban bagi warga miskin sebagai upaya menurunkan indikator kemiskinan pada desa tersebut.

***


Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi