Policy brief
-(Ditulis tanggal 28 Februari 2025)-
Belum lama saya menulis tentang kantong sampah, tepatnya tanggal 24 Februari lalu, eh hari ini headline koran regional itu berjudul: Ratusan Ton Sampah Belum Tertangani. Saya skrinsut berita itu, lalu saya kirim ke WAG. Dengan caption: topik menarik untuk jadi bahan kajian RCE. Tentu, saya mesti bertanggung jawab memberikan usulan itu. Maka, buru-buru saya berpikir bagaimana kajiannya. Bagi saya, inti dari sebuah kajian adalah rekomendasi apa yang bisa dirumuskan untuk mengatasi masalah. Dalam hal ini untuk mengatasi sampah.
Saya pun langsung ingat policy brief alias PB. Ini yang
lebih simple dan tidak bertele-tele untuk dibaca para pimpinan. Saya pernah
mengusulkan agar PB menjadi satu produk dari RCE untuk disampaikan kepada para
pimpinan daerah. Memberikan suatu kajian yang berlembar-lembar halaman itu memang
bagus. Sangat bagus malah. Hanya saja, alih-alih dibaca, dokumen itu justru
mungkin langsung disimpan di lemari atau perpustakaan tanpa tahu kapan akan
dibaca. Karena itu, memberikan policy brief menjadi lebih relevan, karena lebih
ringkas dan to the point. Barangkali policy brief ini bisa disampaikan setiap
bulan atau paling tidak setiap triwulan. Dengan tema aktual yang memang menjadi
tantangan di daerah itu.
Setelah ingat policy brief, saya juga langsung ingat AI.
Karena ia bisa bantu untuk membuatnya. Skrinsut berita di koran itu, saya copas
ke kotak chat, kemudian saya tuliskan prompt: “Atas berita di koran seperti
terlampir, anda sebagai regional chief economist, tolong buatkan policy brief
bagi pemda. berikan langkah-langkah kongkret dalam policy brief tersebut.” AI men-generate
dengan cepat.
Saya belum puas dengan hasilnya. Saya kembali buka kotak
chat yang baru, lalu saya copas skrisut berita di koran itu. Saya tuliskan
prompt yang lebih singkat: “Atas berita di koran terlampir, tolong buatkan
policy brief”. Dan segera tertulis
sebuah policy brief dengan cepat. Saya kemudian bandingkan dua policy brief
itu. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, yang itu bisa saya
kombinasikan. Artinya, ketika WA saya diatas direspon -misalnya dengan kalimat:
bagaimana masukan anda?-, maka saya sudah punya bahan jawaban. Hasil dari AI.
Apakah anda penasaran seperti apa?
PB itu memiliki komposisi: judul, latar belakang, masalah
utama, dan rekomendasi kebijakan serta kesimpulan. Sebagai sebuah produk AI,
saya menilai PB yang dihasilkan sudah sangat bagus. Masak kita menyampaikan PB
hasil produk AI? Ya tentu ini tidak diperlakukan sebagai produk jadi. Perlu dipoles
dengan tambahan data, grafik dan foto yang relevan. Termasuk menambahkan
insight dari hasil diskusi pada forum RCE di unit tersebut. Bayangan saya
seperti itu. Artinya, hasil AI ini sekedar menjadi benchmark.
Bagaimanapun saya bersikeras dengan usulan policy brief ini.
Agar menjadi produk unit RCE. Tentu, langkah yang perlu disiapkan adalah
bagaimana melatih SDM agar mampu menyusun PB sendiri. Tidak asal comot dari hasil
generate AI. Saya membayangkan topik yang diangkat dalam PB tidak melulu
terkait fiskal. Tapi juga berkembang ke topik sosial, seperti soal sampah,
stunting, inflasi, dan ketahanan pangan. Dan mungkin topik lain yang relevan.
Begitulah. Setelah bertahun-tahun, barangkali kita perlu
berpikir dengan cara yang berbeda. Sebagaimana kata Peter Drucker: "Sumber
utama inovasi adalah keberanian untuk berpikir secara berbeda."