Humor tahu banyak

-(Ditulis tanggal 27 Februari 2025)- 

Saya senang setiap melihat Pak Presiden berpidato. Apalagi saat tanpa teks. Rupanya beliau punya selera humor. Setiap ada acara dan beliau berpidato, saya coba untuk menyimak. Sekalian update informasi tentang kebijakan apa yang sedang atau akan dijalankan. Acapkali ketika beliau berada di panggung dan merasa nyaman, akan banyak muncul kelakar dan humor, yang kemudian menjadi potongan-potongan video viral.  

Kemampuan menyisipkan humor di tengah pidato yang serius, menurut saya, merupakan sebuah kemampuan yang tidak semua orang miliki. Mungkin ini bakat bawaan. Yang tentu menjadi anugerah bagi orang itu. Karena banyak orang  merasa senang. Yang kemudian menjadi penggemar. Lihat saja, para penceramah yang humoris, banyak yang suka dan mengikuti ceramah-ceramahnya.  Atau sebenarnya kompetensi humor ini bisa dipelajari. Sebagaimana sekarang ini, sebagian anak-anak muda tertarik untuk belajar stand up comedy. 

Soal humor, saya jadi ingat dulu, semasa sekolah. Ada teman yang sangat humoris. Bawaannya bercanda. Maka, setiap kali ada kerumunan dimana ada dia, yang terdengar adalah gelak tawa.

Kenyataannya, ada tendensi humor pada diri saya. Itu anggapan saya. Di setiap percakapan, dorongan untuk membuat gerr itu selalu ada. Apa mungkin karena terpengaruh oleh teman saya itu. Atau jangan-jangan karena ini. 

Dahulu, ada majalah humor. Literally, namanya: majalah humor. Silakan cek di gugel. Saat itu jaman orde baru. Orang masih takut menyampaikan kritik. Maka munculah kreativitas dengan mengemas kritik dalam bentuk humor.  Saya menjadi salah satu pembacanya. Anda bisa menebak. Benar, sebagai pembaca gratisan. Bagaimana bisa? 

Di kampung dulu, saya punya tetangga. Saya memanggilnya Pak Puh Guru. Karena beliau memang berprofesi sebagai guru bahkan Kepala SD.  Mungkin karena guru, beliau punya banyak bahan bacaan. Beliau juga berlangganan koran. Beliau ini punya menantu yang bekerja di sebuah media. Entah sebagai wartawan atau karyawannya. Yang jelas, sang menantu ini kerap membawakan bundel majalah-majalah. Seperti majalah tempo dan juga majalah humor. 

Sebagai anak SMA yang haus akan bacaan, mengetahui Pak Puh punya banyak majalah, membuat saya girang. Saya memberanikan diri sering bertandang ke rumahnya. Untuk meminjam majalah. Maka, saya menjadi pelanggan utama peminjam majalah-majalah itu. Malah, sepertinya saya saja waktu itu yang tertarik dengan majalah-majalah itu. Yang kemudian saya baca semuanya. Ketika kalangan remaja seusia saya belum mengenal tokoh seperti Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, dll, saya sudah mengenalnya. Dari majalah-majalah itu. 

Apakah kemudian itu membuat saya punya tendensi humor? Mungkin. Tapi, apakah benar saya punya kemampuan humor? Ataukah jangan-jangan itu hanya klaim saya saja? Sementara orang lain tidak sedikit pun melihat humor ada pada saya? 

Dengan kata lain, saya merasa punya humor, dan saya yakin akan hal itu dan menganggapnya sebagai kebenaran bahwa saya punya humor. Padahal, sebenarnya orang lain tidak melihatnya sama sekali. Barangkali ini mirip dengan fenomena yang berkembang belakangan ini. Saya melihat ada orang-orang  yang mengemukakan klaim-klaim yang ia yakini itu terjadi atau tengah terjadi. Padahal, orang lain tak melihat hal itu. 

Faktanya, itulah dinamika kehidupan di jaman ini. Di era kebebasan informasi dan berpendapat yang diperkuat dan diwadahi oleh media sosial. Siapapun bisa mengemukan isi pikirannya, uneg-unegnya, bahkan kebenciannya. Yang itu kita rasakan dampaknya. Kini, sebagian kita disibukkan untuk mengingatkan anggota kita akan berita-berita hoax, disibukkan dengan pesan-pesan untuk tidak turut menyebarkan ujaran kebencian. 

Bagaimanapun itulah kondisinya. Yang mesti disikapi dengan bijaksana. Pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada individu masing-masing. Sekuat apa orang itu bisa menyaring informasi, mengayak pendapat dan terutama bisa membedakan antara fakta dan opini. 

Saat kita menginginkan satu kondisi, yang kemudian ada orang yang menghembuskan isu, kerap kita kemudian menangkapnya itu sebagai hal yang benar-benar terjadi. Sepertinya, otak kita dirancang untuk mencari sesuatu yang memang kita sukai. Ketika kita memilih informasi, kita cenderung merasa nyaman atas berita dan pendapat yang mendukung pemikiran kita sebelumnya. 

Dini hari itu, saya sekonyong-konyong terbangun. Saya langsung buka YT dan mendapati satu channel yang membahas buku tentang 10 alasan untuk menghapus akun medsos. Saya menyimaknya. Beberapa waktu sebelumnya, saya sudah berniat untuk menjauhi medsos dengan nama huruf abjad itu. Anda sudah tahu. Maka, mendapati pembahasan di channel itu, sungguh menyenangkan, seperti menguatkan niat saya. Persis teori di paragraf sebelum ini. 

Memang, mengikuti medsos itu membuat saya menjadi tahu tentang beragam info, isu, tuduhan, opini, sesuatu dan banyak hal. Lantas buat apa? 

Bagaimanapun kita perlu ingat: "Mengetahui sesuatu tidak selalu baik. Kadang ia menjadi beban". (Film Percy Jackson).

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi