Menulis kebuntuan
- (Ditulis tanggal 25 Februari 2025) -
Kalau ditanya, apa sih target saya menulis? Memangnya ada yang baca? Meski pertanyaan ini adalah imajinasi saya sendiri, tapi siapa tahu ada yang nanya begitu. Begini.
Saya tidak menargetkan apa-apa. Apakah ada yang membaca atau
tidak atas tulisan saya, itu terserah saja. Jika ada yang mau membaca ya alhamdulillah,
kalau pun tidak ada ya tidak ada masalah. Setidaknya saya sendiri yang baca. Kelak,
ketika saya baca lagi tulisan saya itu, mungkin saya akan senyum-senyum
sendiri. Kenapa saya bisa berpikir seperti itu. Seperti yang sudah saya alami.
Ketika saya membaca kembali tulisan-tulisan saya ketika masih muda dulu, saya malah
bertanya: kok bisa saya nulis begitu? Kok saya berani mengkritik begitu, dst.
Berharap tulisan saya menjadi viral pun tidak. Takut malah. Nanti
jadi repot. Mesti klarifikasi sana sini. Saya hanya membayangkan
tulisan-tulisan saya itu menjadi legacy saya. Kelak. Tapi, masak sih ga ada
yang baca?
Kenyataannya saya mencoba terus memotivasi orang lain untuk gemar
menulis. Meski sudah ada AI, percayalah bisa menulis sendiri itu lebih
menyenangkan. Bayangkan anda punya masalah, anda pengen curhat, tapi tak ada yang bisa atau mau mendengarkan.
Karena di jaman sekarang ini, pendengar yang baik sudah mulai sulit ditemukan.
Karena rata-rata orang lebih suka bicara. Atau lebih suka nonton medsos.
Maksudnya, diajak bicara malah lihat HP mulu. Alias sibuk sendiri dengan gadget.
Karena itu, menulis menjadi satu alternatif bagi kita untuk bisa mencurahkan
semua masalah.
Tiba-tiba saya mentok. Apa lagi yang mau saya tulis? Keburukan
saya adalah ketika menulis coretan begini, saya tak punya kerangka. Maksudnya,
saya tak mulai dengan sebuah outline. Saya pengen semuanya berjalan spontan dan
mengalir. Tentu saya punya alasan. Yakni agar saya terbiasa menulis spontan.
Jadi, kapan pun, dimana pun, ketika ingin nulis, ya langsung nulis saja, ngalir
dan jadi. Karena, saya ingin menyaksikan apa sih yang bisa keluar dari dalam
pikiran saya ini. Adakah tiba-tiba pemikiran itu muncul begitu saja, yang
bahkan tak saya pikirkan sebelumnya. Saya ingin mendapatkan hal itu. Saya ingin
menemukan kejutan-kejutan dari dalam pikiran saya sendiri. Saya berharap
timbunan pengetahuan, baik dari apa yang saya baca, saya dengar bertahun-tahun itu,
bisa keluar melalui kalimat-kalimat yang saya ketik.
Sampai disini, saya masih mentok juga. Masih belum tahu mau
menulis apa. Saya berharap dapat inspirasi, tapi belum juga muncul. Lampu di
kepala saya sepertinya belum menyala. Saya mencoba mengulur waktu untuk
menemukan ide atau gagasan untuk bisa saya tulis. Ini agak berlawanan dengan apa
yang saya tulis tempo hari, bahwa saya punya banyak bahan baku. Ternyata bahan
baku itu perlu diolah lebih dulu.
Huh.. Masih belum terbit juga ide apa. Ya sudahlah mungkin
malam ini saya mentok. Tidak ketemu ide tulisan yang menurut saya menarik untuk
ditulis dan dibagikan. Apakah lain kali saya mesti menyusun dulu rencana tema
yang akan saya tulis setiap hari? Lalu membuat kerangka atas setiap tema itu? Mungkin
harusnya seperti itu. Hanya saja, saya tidak yakin mau melakukan itu. Karena sekali
lagi, saya ingin menulis spontan. Menulis apa yang ada di pikiran saat ini.
Bagaimanapun malam ini saya stak. Tak menemukan ide. Padahal
sebenarnya tinggal buka YT atau baca berita, bisa ketemu ide itu. Ah, sudah
lah, malam ini saya ingin segera beristirahat. Insyaallah besok ada acara, dimana
saya mesti memberikan sambutan. Kami mengundang Kepala BPS sebagai narasumber
untuk sharing terkait IPH. Apa itu? Indeks perkembangan harga. Kepanjangannya.
Ini mirip angka inflasi tapi dengan komoditas yang terbatas. Tidak sebanyak
barang-barang yang dihitung dalam inflasi.
Eh, ini nampaknya saya baru saja menemukan ide tulisan. Yaitu
tentang IPH. Tapi kapan-kapan saja diteruskan. Nanti setelah mendengarkan sharing
dari BPS. Agar lebih valid uraiannya.
Begitulah. Ketika kita buntu, teruskan saja menulis dengan
berdialog pada diri sendiri. Berimajinasi. Percayalah, nanti akan ketemu ide
apa yang bagus untuk diurai dalam kalimat-kalimat.