Menunggu
- (Ditulis tanggal 7 Juli 2022) -
Ketika naik bus antar kota antar provinsi, saya tak pernah sanggup untuk melihat handphone. Saya masuk golongan orang lemah jika membaca di bus atau mobil yang sedang melaju. Bisa parah kalau memaksakan diri. Mual-mual dan mabok darat. Berbeda dengan ketika naik kereta api atau pesawat, saya bisa habiskan waktu dengan membaca atau menulis.
Maka, yang saya lakukan di bus adalah menjadi pengamat. Bukan mengamati secara serius, karena objek yang diamati cepat berganti. Saya amati pemandangan di pinggir-pinggir jalan yang dilalui bus. Saya amati video musik koplo yang diputer di bus. Saya amati lirik lagu yang dinyanyikan. Pun tentu saya amati sang penyanyi yang berlenggak lenggok yang tangannya seolah tak berhenti menerima saweran dari para penonton, yang entah itu penonton beneran atau bayaran.
Pada saat proses pengamatan itu berlangsung, saya merasakan pikiran dan otak saya seolah berhenti berputar. Terasa tenang dan tanpa terasa saya tertidur. Dan disitulah, kita akan menemukan arti penting sebuah masker, jauh sebelum ada pandemi dan meskipun nanti tak ada lagi pandemi. Barangkali ada yang bertanya maksudnya bagaimana. Sesungguhnya ada pengetahuan atau ilmu yang hanya bisa diperoleh ketika kita langsung mengalaminya.
Tentu, -proses mengamati lalu tertidur- itu tak semudah yang kita bayangkan. Tak hanya melulu proses pengamatan, tapi juga perlu membuat pikiran dan hati tak lagi menggerutu karena menunggu, atau susah karena situasi yang tidak kita sukai. Kuncinya, hanya pasrah. Menerima situasi dan kondisi yang sekarang kita hadapi. Selebihnya, amati. Apa pun.
Lalu, yang terjadi dan yang terasa adalah "eh.. gak terasa ternyata dah sampe." Padahal, setelah dihitung dari sejak berangkat, ya sebenarnya berjam-jam.