Ceroboh

 --- (Ditulis tanggal 23 Oktober 2021) ---

Kamis pagi itu, sepeda motor terasa oling. Memang sudah beberapa hari ini, saya ingin tambah angin ban. Setelah kurang lebih 1,5 km dari rumah dinas, saya temukan kios tambal ban yang sudah buka. Saya berhenti. Saya "jagang" sepeda motor dengan standar tengah. Agar si Bapak lebih mudah memutar roda mencari pentil ban.
"Tambah angin, Pak.. depan belakang," kata saya.
Dengan gesit si Bapak menyelesaikan tugasnya. Lalu, saya berikan lembaran uang sebagai ongkos tambah angin.
Saat saya men-starter sepeda motor, saya melihat botol-botol bensin. Ada yang berbisik dalam batin saya.
"Ga sekalian isi bensin?"
Entahlah, saya tak acuh dengan lintasan kata-kata itu dan terus ngeloyor melanjutkan perjalanan ke kantor. Saya merasa beberapa hari kemarin sudah mengisi bensin.
***
Karena kadung asyik mengedit satu Bab di KFR, sore itu saya memutuskan pulang kantor habis maghrib. Saya punya dua pilihan. Pulang naik motor atau mobil. Sudah beberapa hari mobil saya parkir di kantor. Tanpa menatap langit, saya memilih sepeda motor. Yang bisa lebih lincah dan cepat.
Kira-kira di depan Paragon, saya merasa ada yang aneh dengan motor saya. Seperti kehilangan tenaga dan pengen mogok. Saya paksa dengan memutar gas lebih dalam. Tepat di seberang depan Balai Kota, motor benar-benar tak mau jalan.
"Uaasseeemmm," batin saya. Mengumpati kecerobohan sendiri.
Saya tuntun sepeda motor naik ke atas trotoar dan terus saya tuntun. Saya berharap menemukan kios bensin di sekitaran situ. Tapi, rasanya tidak ada. Dan tidak mungkin orang boleh jualan bensin di jalan utama itu. SPBU juga jauh. Mungkin setelah melewati bundaran Tugu Muda, ada kios kaki lima yang jual bensin.
Ada pepatah: "Sudah jatuh, ketimpa duren, eh tangga." Meski sebenarnya ketimpa duren itu juga sakit. Ya sudahlah, yang jamak digunakan, kata tangga.
Belum lama saya berpikir tentang kios bensin, tiba-tiba dari langit menetes air yang makin lama makin deras. Saya memutuskan belok ke kanan, lalu menyeberang masuk ke jalan perumahan. Saya lihat ada deretan kios-kios. Wah, ada kios tambal ban. Yang biasanya juga jualan bensin seperti kios tambal ban pagi tadi.
Karena hujan yang makin deras, saya buru-buru menepi di depan kios yang sudah tutup di sebelah kios tambal ban.
Saya hanya bisa berdiri berteduh di depan toko, dengan jarak satu meter dari jatuhnya air dari atap toko. Tak terelakkan, tampias, cipratan air ketika ada mobil yang lewat, harus saya terima dengan sabar.
Saya belum bisa mendekati kios tambal ban untuk bertanya apakah dia jual bensin. Karena di sebelah saya rupanya ada satu keluarga, suami, istri dan anak yang juga berteduh dan sedang menunggu proses tambal ban sepeda motornya yang bocor.
Hujan makin deras. Terlihat genangan air di jalanan makin tinggi. Terus mengumpat tentu bukan hal yang terpuji. Saya hanya bisa berdoa dan mencoba menikmati suasana. Bagaimana caranya?
Saya mencoba menjadi pengamat. Saya amati tingkah bocah yang bersama orang tuanya itu. Sesekali saya amati mobil yang melintas di depan saya. Ada yang egois, tetap melaju kencang tanpa memikirkan cipratan air ke orang-orang yang berteduh di pinggir jalan. Ada juga yang sopan, pelan-pelan agar air tetap tenang. Ada pula yang terkesan ragu-ragu entah apa yang terjadi di dalam mobil itu. Saya juga amati tukang ojek yang nekat menerjang hujan demi penghidupan.
Dalam alur menikmati suasana itu, saya tiba-tiba tersadar dan teringat bisikan pagi tadi. Bisikan untuk sekalian mengisi bensin.
Begitulah. Acapkali kita menerima firasat, feeling, lintasan, bisikan atau entah apalagi namanya, tapi kita tak punya kuasa untuk mencegah atau menghindarinya.


Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi