Sarangan - Cemoro Sewu - Tawangmangu

 - (Ditulis tanggal 31 Mei 2023) -


Sejak keluar kota Magetan menuju Sarangan, sudah disuguhi pemandangan indah persawahan dengan terasseringnya.
Melintasi Sarangan, terus naik ke arah Cemoro Sewu memang asyik ketika bukan hari libur. Jalanan lengang. Tidak ada kemacetan. Paling-paling ketika tanjakan curam dan di depan ada bus, membuat kita pelan-pelan. Dan jaga jarak.
Belum juga petang. Tapi kabut sudah menyerang. Excited. Berkendara berselimut kabut. Meski harus hati-hati dan waspada.
Sebenarnya banyak spot bagus di sepanjang jalanan naik dari Sarangan ke Cemoro Sewu. Pengen rasanya berhenti. Tapi sunyi. Yang sejatinya ciamik kala sedang berdua. Hehehe...
"Kita nyeberang dulu aja, nanti berhenti pas di Tawangmangu," kata saya pada seseorang disamping saya.
Kemalaman di sekitar Sarangan, padahal mesti lanjut ke Tawangmangu, rasanya kurang nyaman juga. Apalagi kabut-kabut itu. Mitigasi risiko tiba-tiba menyeruak. Padahal, aslinya aman-aman saja. Meski tanjakan curam, jalanan sudah lebar. Beberapa momen, masih bisa menyalip truk yang berjalan pelan di tanjakan.
Pun tak ada begal. Hanya saja, yang perlu diwaspadai adalah tanah atau bebatuan yang longsor. Yang kemungkinan besar juga tidak akan terjadi karena hari itu tidak hujan.
Lalu, kami tiba di Cemoro Sewu. Sekitar jam 5 sore. Masih terang. Tak ada kabut. Padahal saat melintasi Mojosemi tadi, suasana gelap, kabut tebal itu sempat menyiutkan nyali.
Yang katanya ciut nyali itu bukan hal buruk. Justru itu yang membuat manusia bisa bertahan. Tidak punah. Karena membuatnya hati-hati dan waspada. Coba sebaliknya, bernyali besar, tidak ada rasa takut. Ada hewan besar, ada longsor, tidak takut. Alhasil, ya mati. Dimakan hewan atau tertimbun longsor. Jadi, takut bukan hal yang salah. Justru, membuat kita semakin waspada. Dan memitigasi risiko. Dan survive.
Kami berhenti. Turun. Di Cemoro Sewu. Alias cemara seribu. Mungkin dulu yang ngasih nama daerah itu pernah menghitung jumlah cemara dan didapat angka 1000. Atau dulu ada yang menanam cemara jumlahnya 1000. Atau saking banyaknya jumlah pohon cemara disitu, orang kemudian menamainya cemoro sewu. Sehingga, pemakaian kata sewu sudah menandakan jumlah yang sulit dihitung.
Kenapa tidak sejuta, semilyar, setrilyun? Sebuah pertanyaan filosofis. Mungkin pada jaman itu, orang belum terpikir hitungan sampai angka segitu. Atau memang belum dikenal istilah itu. Seiring bergulirnya waktu, kita kerap menjumpai istilah-istilah baru. Atau istilah lama, yang karena satu konteks kemudian melejit kata itu ke permukaan dan menjadi perbincangan media dan orang-orang yang berkepentingan. Seperti kata: cawe-cawe. Yang nge-hit sekarang.
Dia kedinginan. Kami membeli minuman jahe dan pentol kuah. Dan bergegas masuk mobil. Di Cemoro Kandang kami kembali berhenti. Menikmati suasana sore itu. Dari dalam mobil.

Malam mulai menjelang. Gelap semakin menjalar. Baru kali itu, saya berkendara di lereng Lawu dalam suasana petang. Sepi. Serasa tempat wisata itu milik kami. Hehehe...
Bagaimanapun saya sudah berjanji. Pada dia. Untuk bersantai di Tawangmangu. Di sebuah cafe, kami berhenti. Sejenak. Merayakan petang.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi