Hikayat Dusun Beluk

(Sebuah cerpen)

Dusun Beluk, sebuah dusun kecil yang memanjang bagai garis lurus dari utara ke selatan, tak pernah sepi dari cerita. "Beluk" artinya burung hantu. Ada seekor burung hantu yang bersarang di satu pohon besar di areal kuburan dusun Beluk. Sejarah Dusun Beluk adalah sejarah pertentangan tanpa rujuk. Seolah-olah, perselisihan menjadi kutukan para leluhur, ditandai dengan suara burung hantu pada malam hari sebelum peristiwa. Suara beluk juga menandai kematian seorang tokoh.

Dahulu, hanya ada satu masjid di bagian utara dusun dan satu mushola di bagian selatan. Awalnya, ada pesantren di sekitar masjid utara milik keluarga sang Kyai. Lalu, pesantren itu mati suri karena ditinggal wafat sang Kyai, sementara para penerus dari keturunannya masih belajar di pesantren lain. Malam sebelum sang Kyai wafat, suara burung hantu nyaring terdengar di telinga warga.

"Apakah ini pertanda buruk, Bu?" tanya seorang warga pada tetangganya, saat mereka berkumpul di beranda.

"Mungkin. Setiap kali suara burung itu terdengar, selalu ada hal buruk yang terjadi," jawabnya dengan wajah cemas.

Setelah tamat belajar, para penerus itu pulang. Dipimpin oleh sang paman—seorang Kyai yang telah merantau puluhan tahun di daerah seberang—mulailah pesantren dihidupkan dan ditata kembali. Pada saat yang sama datanglah seorang anak muda, jebolan pesantren. Ia bukan berdarah biru. Ia berasal dari keluarga di bagian selatan Dusun Beluk. Dia mencoba bergabung dengan keluarga masjid utara, berusaha membantu berdirinya pesantren. Dia punya pamrih. Dia ingin menikahi gadis keturunan keluarga masjid. Namun, ditentang keluarga masjid, khususnya sang paman, yang mengetahui pemuda itu mencoba menjampi-jampi keponakannya.

"Mengapa dia harus datang kemari? Apa niat sebenarnya?" gumam sang Paman, dengan kening berkerut.

"Kita harus waspada," jawab salah seorang pengikut setia sang Paman. "Dia bukan dari darah kita, dan kita tidak tahu apa yang dia inginkan sebenarnya."

Malam itu, suara burung hantu dari pohon besar menggema di Dusun Beluk. Pemuda ini marah dan memberontak. Dia hengkang bersama para pengikutnya dengan membawa beberapa peralatan belajar. Lalu, mereka bermarkas di mushola di bagian selatan dusun. Dimulailah rencana besar membangun pesantren di dusun bagian selatan, diawali dengan membangun masjid. Maka, di Dusun Beluk yang kecil itu berdiri dua masjid: utara dan selatan. Dengan pesantren baru yang dibangunnya, anak muda itu menyandang gelar kyai, sebut saja sebagai kyai muda.

"Ayo kita bangun tempat ini menjadi pusat ilmu," seru Kyai Muda pada para pengikutnya. "Kita akan buktikan bahwa kita bisa berdiri sendiri!"

Sejak itu, intrik-intrik perselisihan antara keluarga masjid utara dan kyai muda itu merembet ke masyarakat. Orang dusun mulai ikut-ikutan berpihak. Jadilah dua blok, blok masjid utara dan blok masjid selatan.

"Aku tidak mengerti kenapa kita harus memilih sisi," keluh seorang warga kepada temannya. "Bukankah kita semua sama-sama beribadah?"

"Ini bukan hanya tentang ibadah, ini tentang kehormatan dan tradisi," jawab temannya dengan tegas.

Ada sebagian warga di dekat masjid utara berpihak ke masjid selatan. Mereka menunaikan sholat fardhu berjamaah dan sholat Jumat di masjid selatan. Begitu sebaliknya, ada sebagian warga yang lebih dekat masjid selatan, tetapi tetap memilih menunaikan sholat Jumat di masjid utara. Demikian juga dengan sholat Idul Fitri. Kadang, masjid selatan ber-idul fitri lebih dulu. Masjid utara, belakangan.

"Kenapa mereka selalu lebih dulu?" protes seorang warga. "Bukankah seharusnya kita bersatu dalam hari raya?"

Pesantren selatan berkembang dengan pesat. Kepandaian kyai muda untuk menggalang dana dan mendapatkan areal-areal sekitar pesantren membuat bangunan pesantren terus bertambah besar. Banyak santri berdatangan dari luar dusun.

"Sungguh luar biasa kemampuannya," bisik seorang warga. "Dia mampu membangun begitu banyak dalam waktu singkat."

Sementara, pesantren utara berjalan terseok-seok. Suara burung hantu kembali terdengar. Sang paman, sebagai kyai sepuh, meninggal dunia, diawali dengan sakit yang misterius. Pesantren utara makin terpuruk.

"Kita harus berbuat sesuatu," seru seorang murid tua. "Kita tidak bisa membiarkan warisan ini hilang."

Dengan dua pesantren, jadilah Dusun Beluk sebagai dusun santri. Lingkungan dan suasananya bisa mengubah seorang yang bejat menjadi baik. Orang yang tak pernah sholat menjadi rajin sholat. Orang yang gemar berjudi, minuman keras akan malu sendiri, karena tak ada teman. Ia harus melakukannya di luar dusun. Yang kehidupannya merah akan menjadi hijau.

Namun, kedamaian ini rapuh. Tak berapa lama, suara burung hantu kembali nyaring. Sang kyai muda wafat meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Sang adik mewarisi pesantren masjid selatan yang sudah terkelola dengan bagus.

Sejak meninggalnya dua tokoh kyai itu, warga dusun mulai lupa dengan perselisihan itu.

"Sudah saatnya kita melupakan semua ini," kata seorang tetua dusun dalam sebuah rapat desa. "Kita harus bersatu kembali."

Namun, tiba-tiba, suara burung hantu kembali mengusik ketenangan. Warga terhenyak dengan permusuhan perebutan harta warisan antara dua pamong desa, hingga hubungan keluarga dan kerabat tercerai-berai. Tak ada tegur sapa, meski rumah saling berhadapan. Semua berawal dari rasa iri dengki yang berujung dendam dan permusuhan.

"Ini tidak bisa dibiarkan," seru seorang ibu sambil menangis. "Kita tidak bisa terus hidup seperti ini."

Dan masih banyak peristiwa pertentangan yang terjadi. Semua ditandai oleh suara beluk di pohon besar. Begitulah Dusun Beluk, dusun santri yang penuh perselisihan. Dan lambat laun menjadi hal biasa.

Lama tak lagi terdengar suara burung beluk. Kabarnya, seorang Ustadz muda telah menangkapnya dan menyerahkannya ke kebun binatang di satu kota besar. Suara burung hantu itu memenuhi kebun binatang. Sejak itu, perselisihan dan permasalahan tak henti-hentinya merundung kebun binatang itu. Sang Ustadz muda mendatangi pengelola kebun binatang dan menyarankan agar burung hantu itu dilepas agar bebas terbang di angkasa.

"Sebaiknya kita bebaskan burung hantu itu. Ia membawa kutukan," kata Ustadz muda dengan wajah serius.

Kini, suara burung hantu itu menggema di langit negeri. Dan tiba-tiba saja perselisihan, pertentangan antara dua kubu capres bak virus yang mewabah menjangkiti rakyat. Saling mencemooh dan memfitnah. Korban berjatuhan. Sedihnya, saling cibir dan fitnah itu tak jua berakhir meski presiden telah terpilih. Sakit hati, hasud, dan fanatik buta menjadi landasan berpijak. Bahkan, nyinyir sudah menjadi karakter.

"Aku harus menemukan burung hantu itu," bisik Ustadz muda pada dirinya sendiri, menatap langit dengan tekad bulat.

Pencarian pun dimulai, berharap bahwa dengan hilangnya burung hantu itu, kedamaian bisa kembali, baik di dusun maupun di negeri ini.

Ustadz muda itu, memulai perjalanannya. Dia mengunjungi setiap kota besar, berbicara dengan para penjaga kebun binatang, dan menyelidiki setiap kabar tentang burung hantu. Tak jarang, dia harus bermalam di tempat-tempat yang tidak nyaman, hanya dengan harapan menemukan petunjuk.

"Apakah Anda melihat burung hantu ini?" tanya Ustadz muda pada seorang penjaga kebun binatang di sebuah kota besar.

Penjaga itu menggeleng. "Sudah lama sekali kami tidak mendengar tentang burung hantu itu. Mungkin sudah dibebaskan."

Ustadz muda itu tidak menyerah. Dia terus mencari, dengan keyakinan bahwa dia harus menemukan burung hantu itu untuk menghentikan kutukan yang menyebar. Hingga suatu malam, di sebuah desa terpencil, dia mendengar kabar bahwa burung hantu itu telah terlihat di hutan dekat desa tersebut.

"Burung hantu itu membawa malapetaka," bisik seorang warga desa. "Setiap kali terdengar suaranya, selalu ada yang buruk terjadi."

Ustadz muda segera menuju hutan. Malam itu, dia mendengar suara yang telah lama dia cari. Suara burung hantu menggema, seakan memanggilnya. Dengan hati-hati, dia mengikuti suara itu, hingga akhirnya dia melihat burung hantu itu bertengger di dahan sebuah pohon besar.

"Ini dia," bisik Ustadz muda. "Aku harus menghentikanmu."

Dengan hati-hati, Ustadz muda mendekati burung hantu itu. Dia menyiapkan jaring yang telah dia bawa, berharap bisa menangkap burung hantu itu tanpa melukainya. Namun, burung hantu itu seakan mengetahui niatnya. Dengan cepat, burung hantu itu terbang, melesat ke dalam kegelapan malam.

Ustadz muda mengejar, tak ingin kehilangan jejak. Dia terus berlari, melewati rimbunnya hutan, hingga akhirnya dia terjatuh dan pingsan karena kelelahan.

Ketika dia terbangun, dia sudah berada di sebuah gubuk kecil. Seorang kakek tua duduk di sampingnya, menatapnya dengan mata penuh kebijaksanaan.

"Kau mengejar burung hantu itu, bukan?" tanya kakek tua itu.

Ustadz muda mengangguk lemah. "Aku harus menghentikannya. Dia membawa kutukan."

Kakek tua itu tersenyum. "Kutukan bukan berasal dari burung hantu itu. Kutukan berasal dari hati manusia yang penuh kebencian dan iri hati. Burung hantu itu hanya pertanda, bukan penyebab."

Ustadz muda terdiam, merenungkan kata-kata kakek tua itu. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Kembalilah ke dusunmu," kata kakek tua itu. "Ajarkan kepada mereka tentang cinta dan pengampunan. Hanya dengan itu, kutukan bisa dihentikan."

Dengan pemahaman baru, Ustadz muda kembali ke Dusun Beluk. Dia mulai mengajarkan tentang pentingnya persatuan, cinta, dan pengampunan. Perlahan, warga dusun mulai berubah. Mereka belajar untuk saling memaafkan dan bekerja sama.

Hari demi hari, Dusun Beluk kembali damai. Suara burung hantu masih terdengar sesekali, tapi tidak lagi menakutkan. Warga dusun telah belajar bahwa mereka harus saling mencintai dan menghormati untuk menghindari kutukan yang sebenarnya ada di hati mereka sendiri.

Dan begitulah, Dusun Beluk kembali menjadi dusun yang damai, tempat di mana perselisihan dan kebencian tidak lagi berakar. Semua berkat perjuangan seorang Ustadz muda yang mengajarkan tentang cinta dan pengampunan, melampaui kutukan burung hantu yang telah lama mengusik mereka.

Populer

The Last Kasi Bank dan Manajemen Stakeholder

DAK Fisik dan Dana Desa, Mengapa Dialihkan Penyalurannya?

Menggagas Jabatan AR di KPPN

Setelah Full MPN G2, What Next KPPN?

Perbendaharaan Go Green

Everything you can imagine is real - Pablo Picasso

"Penajaman" Treasury Pada KPPN

Pengembangan Organisasi